Kelompok : 2
MAKALAH KONSELING KELOMPOK
DENGAN PENDEKATAN PSIKOANALISIS
MATA KULIAH KONSELING KELOMPOK
Dosen pengampu:
NOFFIYANTI S. Sos, MA
Disusun oleh:
ISMAIL 1841040268
Kelas: D
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TA. 2019/1441 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Puji
syukur atas kehadiran Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayahnya lah kami para
pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah kami dengan tepat waktu ya itu
makalah yang berjudul konseling kelompok dengan pendekatan psikoanalisi.
Dan solawat beserta salam tak lupa kita sanjung agungkan kepada junjungan besar
kita Nabi Muhammad SAW. Yang kita nanti-nantikan safaatnya di yaumul kelak .
Dalam
makalah ini kami membahas tentang konseling kelompok dengan pendekatan
psikoanalisi untuk memenuhi tugas matakuliah komunikasi konseling. Semoga
makalah kami ini dapat bermanfaat bagi para pendengar dan pembaca. Namun kami
masih menyadari bahwasanya makalah kami masih terdapat banyak kekurangan oleh
karena itu kami masih mengharapan kritik dan saran yang membangun agar dapat
kami jadikan pelajaran di kedepanya karena hakikinya manusia tidak ada yang
sempurna.
Dan
tak lupa kami ucapkan terimakasih sebesar-besarnya terhadap rekan-rekan yang
telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini dan ucapan terima kasih pula
terhadap Ibu Noffiyanti yang telah membimbing, dan memberikan ilmunya terhadap
kami semuah khususnya pada mata kuliah komunikasi konseling. Akhir kata dari
kami.
Wasalamualaikum.
Bandar Lampung, 9 September 2019
Penulis
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................. i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR IS........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah........................................................... 1
B.Rumusan masalah.................................................................... 1
C.Tujuan...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A Pendekatan Psikoanalisis......................................................... 3
B. Perkembangan Kepribadian.................................................... 5
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan..............................................................................
B.Saran........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupan sebuah layanan yang di
berikan dari seorang konselor terhadap soerang klien baik sudah mengalami
masalah maupun belum. Layanan yang di berikan terhadap klien yang belum memiliki
masalah di sebut dengan Bimbingan sedagkan klien yang sudah memiliki masalah
layanan atau bantuan yang di berikan adalah konseling, yaitu bertujuan untuk
membantu seorang klien untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan klien
tersebut.
Dalam proses konseling seorang
konselor harus perlu mengetahui semuah informasi yang berkaitan dengan
permasalahan klien tersebut denan berbagai macam teori-teori psikologi, salah
satu contohnya adalah psikoanalisis. Nah di dalam makalah ini kami akan
menguraikan sebaian dari teori psikoanalisis dan beserta aspek-aspeknya
B.
RUMUSAN
MASALAH
- Siapa tokoh teori psikoanalisis serta aspek - aspek
di dalamnya ?
- Bagaimana
penerapan teori psikoanalisis dalam konseling kelompok ?
C.
TUJUAN
- Untuk
menjelaskan tentang tokoh psikoanalisis serta aspek - aspek di dalamnya.
- Untuk
mengetahui cara cara penerapan teori psikoanalisis dalam konseling
kelompok.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN PSIKOANALISIS
Corey (2009)
mengatakan bahwa psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam
psikologi khususnya yang berhubungen dengan gangguan kepribadian dan perilaku
neurotik, kemudian disusul oleh behaviorisme dan eksistensial humanistis.
Psikoanalisis diciptakan olch Sigmund Freud pada tahun 1986, Pada
kemunculannya, teori Freud ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi,
pemelitian dan dijadikan landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul
kemudian.[1]
Mulanya Freud
menggunakan teknk hipnosis untuk menangani pasiennya. Tetapi teknik ini
ternyala tidak dapat digunakan pada semua pasien. Dalam perkembangannya, Freud
menggunakan teknik asosiasi bebas (free assciation) yang kemudian menjadi dasar
dari psikoanalisis. Teknik ini ditemukan ketika Hrued melihat beberapa
pasiennya tidak dapat dihip- noia atau tidak memberi tanggapan terhadap sagesti
atau pertanyaan yang mengungkap permasalahan klien (Gunarsa, 1996).
Selanjutnva, mengembangkan lagi teknik baru yang dikeral sebagai analisis nimp.
Menurut Willis
(2009) pengertian psikuanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu: Sebagai
metode penelitian proses-proses psikis. Teknik untuk mengobati gangguan gangguan
psiks. Sebagai teori keprihadian. Adapun hal-hal yang perlu dibicaralkan
megenai pendekatan pskoanalisis ini adalah: bagaimana psikoanalisis memandang
dinami- kepribedian manusia, perkembangan kepribadian. kesadaran dan
oetidaksadaran, mekanisme pertahanan ego, peran dan fungsi konselor, dan
teknik-tekaik lerapi yang digunakan dalam psikoanalisis.[2]
1. Dinamika Kepribadian Manusia Frend me
mandang kepribadian manusia tersusun atas tiga sistem terpisah fungsinya antara
satu dan yang lain, tetapi tetap saling erengaruhi Ketiga sistem itu dikenal
sebagai id, ego, dan superego.
a. Id
Id meupakan
subsistem kepribadian asli yang dibawa manusi sejak awal ia dilahirkan ke
dunia. Id bersifat primitif dan bekerja ber dasarkan prinsip kesenangan.
Ciri-ciri id menurut Lesmana (2009) adalah bekerja di luar kesadaran manusia,
irasional, tidak terorganisasi, berorientasi pada kesenangan, primitif,
berperan sebagai sumber libido atau tenaga hidup dan energi, dan teralkhir
merupakan sumbe dari dorongan dan keinginan dasar untuk hidup dan mati.
Pemenuhan Id tidak dapat ditunda, karena itulah id dianggap seperti anak manja
yang tidak berpikir logis dan bertindak hanya untuk memuaskan butuhan naluriah.[3]
b. Ego
Berbeda dengan
id yang bekerja hanya untuk memuaskan kebtuhan naluriah, ego bertindak
scbaliknya. Ego berperan menghadapi realitas hidup dan berasal dari kebudayaan
dan norma norma yang berlaku di masyarakat. Prinsip kerjanya selalu
bertentangan dengan id. Corey (2009) menyebut ego sebagai eksekutif dari
kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur. Tugas ego adalah
mengen dalikan id dan menghalau impuls keluar dari kesadaran melalui meka nisme
pertahanan. Cara kerja ego berdasarkan prinsip realitas (reality principles)
yang melakukan suatu tindakan sesuai dengan dunia ril.[4]
c. Superego
Superego
merupakan kode moral bagi individu yang menentukan apakah suatu tindakan baik
atau buruk, benar atau salah. Superego ter bentuk dari nilai-nilai yang
terdapat dalam keluarga dan masyarakat yang dipelajari di sepanjang tahun-tahun
pertama hidup manusia (Lesmana, 2005). Superego bekerja berdasarkan prinsip
moral yang orientasinya bukan pada kesenangan tetapi pada kesempurnaan ke-
pribadian. Menurut Corey (2009) superego berkaitan dengan imbalan dan hukuman.
Imbalan berupa perasaan bangga dan mendapatkan cinta, sementara hukuman berupa
perasaan berdosa dan rendah diri.[5]
Selanjutnya
Freud memandang manusia bersifat pesimistis, ministik, mekanistik, dan
reduksionistik Menurutnya, tingkah laku manusia dikendalikan oleh dorongan-dorogan
biologis dan motivasi tidak sadar serta pengaruh peristiwa psikoseksual yang
terjadi pada ima tahun pertama kehidupan. Fre ud juga menekankan adanya naluri
naluri seksual (berkaitan dengan insting hidup) dan impuls agresif (berkaitan
dengan insting kenatian) yang mendoroag manusia her tinakah laku. la mengatakan
bahwa tingkah laku nanusia pada umum- ma untuk memperoleh kesenangan dan
menghindari kesakitan. (143)A
2. Perkembangan Kepribadian
Selain ketiga sistem yang dibicarakan di
atas, perkembangan kepribadian manusia menurut versi Frend juga dipengaruh oleh
lima tahun pertama kehidupan yang dinamakan Freud sebagai perkembangan
psikoseksual. Secara berurutan fase perkembangan tersebut meliputi fase oral,
fase anal, fase phalik, fase laten, dan fase geital. Secara sing kat penulis
akan menguraikannya satu persatu .
a.Fase Oral
Fase oral terjadi pada saat tahun
pertama keridupan atau sejak bayi dilahirkan sampai berusia satu tahun.
Pengalaman kenikmatan pertama manusia adalah ketika ia mengisap puting susu ibu
dengan mulut yang merupakan daerah kenikmatan (zone of pieasure) utama. Ketika
berusia di bawah satu tahun kepuasan dasar didapatkan mela- lui sucking dan
menggigit (Lesmana, 2005) Tugas perkembangan pada fese oral adalah memperoleh
rasa percaya baik kepada orang lain, dunia, maupun diri sendiri. Efek dari
penalakan pada fase ini dapat menycbabkan anak menjadi penakut, ticak aman,
haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian. Menuru: Corey (2009)
ketidakpuasan pada fase in juga akan enyeoabkan timbulnya gangguan kepribadian
sepertis ketidakper- ayaan paca dunia, ketakutan menjangkau orang lain,
penolakan ter- edap afeksi. ketakutan untuk dicintai dan mencintai, harga diri
yang dh, isasi dan penarikan diri, dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang
intim dengan orang lain.[6]
b. Fase Anal
Selanjutnya adalah fase anal yang
terjadi antara usia satu tahun sampai tiga tahun di mana zona kenikmatan berada
pada saat mena han atau melepaskan feses. Anak terus-menerus berhadapan dengan
tuntutan orangtua dan diharapkan mampu mengendalikan buang air Ketika toilet
training diberlakukan, anak akan memperoleh pengalam. an pertamanya dalam hal
disiplin dan moral. Pada fase inilah anak akan mengalami perasaan benci, marah,
dan hasrat merusak. Anak juga akan belajar mengakui perasaan buruknya dan
bagaimana cara mengatasi perasaan tersebut. Tugas perkembangan yang harus
dilakukan anak pada fase anal adalah: belajar mandiri, memiliki kekuatan
pribadi dan otonom ser ta belajar bagaimana mengaku: dan menangani perasaan
negatifnya (Corey, 2009). Hal yang perlu ditekankan pada fase ini yaitu anak
diharapkan mampu belajar bereksperim.en dalam kehidupannya. Orangtua sebal nya
jangan terlalu terlibat pada pekerjaan anak yang kemungkinan dapat
diselesaikannya sendiri walaupun dengan berbagai kesalahant Keterlibatan
orangtua yang berlebihan pada anak akan membuat anal tidak memilik: kes
anggupan pribadi menjalankan fungsi dirinya.
C. Fase Phalik
Fase phalik ter adi antara rentang usia
3-5 tahun. Adapun kenikmatan berada paca alat kelamin. Istilah yang kerap
muncul pada fase ini adalah ocdipus complex (ketertarikan seksual pada sosok
ibu lalu mengidentifikasi dirinya pada sosok ayah untuk merepresi ke-
inginannya memiliki ibu) yang berlaku bagi anak laki-laki dan electra complex
(ketertarikan seksual pada ayah) pada anak perempuan. Kegagalan
mengidentifikasi sosok orangtua sestai dengan jenis kelaminnya akan
mengakibatkan anak mengalami kebingungan akan peran seks- nya secara normal dan
kegagalan dalam menemukan standar moral yang tepat (Latipun, 2001). Menurut
Corey (2009), fase phalik juga merupakan tahap perkem bangan hati nurani di
mana anak diperkenalkan dengan standar moral.[7]
Orangtua yang terlalu kaku dalam
menetapkan moral akan mengaki- batkan dampak negatif bagi anak, seperti: anak
sangat mematuhi mo- ral tetapi hanya karena takut, anak menjadi kaku, timbulnya
perasaan berdosa, penuh penyesalan, rendah diri, dan penghukuman diri.
d.Fase Laten
Fase laten juga dikenal
sebagai tahap pregenital yang terjadi antara usia 6-12 tahun (awal pubertas).
Dinamakan fase laten/tenang karena pada fase ini anak tidak lagi dikuasai oleh
insting dan impuls-impuls yang mengarahkan tingkah lakunya. Selain itu anak
hanya sedikit ber minat pada seksualitas karena disebabkan kesibukan belajar,
aktivitas dengan teman sebaya, dan keterampilan fisik. Walaupun minat seksual
di represi, tetapi hal tersebut akan muncul dan memengaruhi kepriba diannya.
e. Fase Genital
Fase genital menandai berakhirnya fase
psikoseksual pada indi- vidu Fase ini terjadi pada masa pubertas (di atas usia
12 tahun), Perilaku umum yang tampak pada fase ini adalah kecenderungan ter-
farik pada lawan jenis, bersosialisasi dan berkelompok, serta menjalin hubungan
kerja. Semua tingkah laku yang dilakukan kerap kali meng- arah pada proses
menciptakan hubungan dengan orang lain. Hal yang perlu diketahui adalah apabila
semua fase sebelumnya dapat dilewati oleh individu dengan baik, maka ketika
individu me- masuki fase genital, ia akan dapat menyesuaikan dirinya dengan baik
dan normal. Tetapi apabila fase psikoseksual sebelumnya tidak tersele- saikan
atau mengalami hambatan maka akan berpengaruh pula pada kesulitan individu
menyesuaikan diri dengan perannya sebagai orang dewasa (Lesmana, 2005). Freud
mengungkapkan bahwa masalah yang dapat terjadi ketika individu berada pada fase
ini yang merupakan kesalahan pada fase terdahulu adalah: frustrasi berlebihan
(excessive frustration), atau ke- nikmatan berlebihan (overindulgence).
3. Kesadaran dan Ketidaksadaran
Kesadaran dan ketidaksadaran
adalah bagian konsep terpeniing yang dikemukakan oleh Frend. Keduanya sangat
menentukan tingkat laku dan permasalahan yang berlubungan dengan kepribadian
manu sia Freud membagi kesadaran menjadi tiga hagian utama, yaitu alam sadar
(conscious), a.am prasadar (preconscious) dan alam bawah sadar (unconscious)
Penjela sannya adalalh sebagai berikut:
- Alam
Sadar (Conscious)
Alam sadar merapakan bagian yang
berfungsi untuk mengingl menyadari, dan merasakan sesuatu secara sadar/nyata
(1atipun, 2001) Meskipun alam sadar bersentuhan langsung dengan kenyataan
tetapi ia menempati bagian terkecil dari keseluruhan kepribadian manusia Alam
sadar inilak yang selalu dimunculkan individu ketika berhadap an dengan orang
lain. Freud mengibaratkan mengenai kesadaran ini seperti gunung es yang
mengapung di permukaan laut. Dalam hal ini, alam sadar adalah puncak yang
kelihatan dar: gunung es tersebut. [8]
- Alam
Prasadar (Preconscious)
Menurut Latipun (2001), alam prasadar
adalah bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan, dan perasaan dan berfungsi
mengan- tarkan ide, ingatan, dan perasaan tersebut ke alam sadar jika individu
berusaha mengingathya kembali. 146A
- Alam
Bawah Sadar (Unconscious).
Alam bawah sadar adalah bagian dari
dunia kesadaran yang pa- ling menentukan terbentuknya tingkah laku/kepribadian
individu Alam bawah sadar menyimpan semua ingatan atas peristiwa-peristi- wa
tertentu yang telah direpresi individu. Alam bawah sadar juga me- nyimpan
ingatan tentang keinginan yang tidak tercapai oleh individu.
Menurut pandangan psikoanalisis, untuk
mengetahui akar per- masalahan yang dialami klien, tahap yang harus dilakukan
adalah melalui eksplorasi alam tidak sadar sehingga motif-motif tidak sadar
menjadi disadari oleh individu. [9]
4.Mekanisme Pertahanan Ego
Mekanisme pertahanan ego adalah cara
yang digunakan individu ntuk mengatasi kecemasan yang diakibatkan karena
keinginannya tidek terpenuhi. Individu yang melakukan melkanisme pertahanan ego
secara wajar masih dikategorikan sebagai tingkah laku yang adaptif, tetapi bila
penggunaannya berlebihan sehingga berubah menjadi gaya hidup untuk menghadapi
realitas, tingkah lalku tersebut dapat tergolong petalogis.
Freud (dikutip dari Corey, 2009)
mengemukakan berbagai bentuk mekanisme pertahanan ego yang dimanifestasikan dalam
tingkah Jaku. Individu secara alamiah akan menyeleksi bentuk pertahanan seperti
apa yang akan dilakukannya. Ini tergantung dari tinggi rendahnya tingkat
kecemasan. Walapun memiliki perbedaan dalam penggunaan- nya, akan tetapi semua
bentuk mekanisme pertahanan ego memiliki dua ciri utama yaitu: menyangkat
mendstorsi kenyataan, dan beroperasi pada taraf alam bawah sadar.[10]
Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego :
a. Represi,
adalah melupakan isi kesadaran yang traumatis dan bisa membangkitkan kecemasan
dan menekan hal-hal yang menyakit- kan ke alam bawah sadar. Represi merupakan
dasar bagi terben- tuknya mekanisme pertahanan ego yang lain. Terkadang
individu tidak menyadari bahwa ia telah melakukan represi. Misalnya: seorang
korban tsunami di Aceh berusaha melupakan peristiwa tersebut yang telah
mengakibatkan ia kehilangan keluarganya .
b. Penyangkalan
(denial). Penyangkalan hampir sama dengan represi di mana individu menyangkal
untuk menerima masalah atau ke- nyataan yang membangkitkan kecemasan. Misalnya,
seorang istri menyangkal perkataan temannya yang melihat bahwa suaminyatelah
selingkuh dengan wanita lain. [11]
c. Formasi
reaksi adalah melakukan tindakan yang berlawanan de- ngan hasrat hasrat alam
bawah sadar untuk menyangkal perase an yang mendatangkan kecemasan. Dalam hal
ini individu dapat saja menyembunyikan kebenciannya dengan berpura-pura menci
Misalnya, seorang ibu yang menolak kelahiran anaknya terliha begitu melindungi
araknya secara berlebihan.
d. Proyeksi,
mengalamatkan pikiran, perasaan, atau motif yang da dapat daterimanya kepada
erang lain. Melalui proyeksi, individu cenderung menyalahkan tingkah laku orang
lain untuk menutupi kesalahannya. Misalnya, seseorang yang mengatakan bahwa
kega- galanıya dalam ujian karena teman sebangkunya yang berisik
e. Introyeksi
adalah menanamkan nilai nilai dan standar yang dimi liki orang lain ke dalam
dirinya sendiri. Introyeksi dapat bernia positif jika individu menanamkan nilai
nilai positif dari orano tersebut. Misalnya, seorang anak yang senang berkelahi
karena selalu melihat kedua orangtuanya berkclahi.
f. Regresi
adalah tindakan melangkah mundur secara tidak sadar ke fase perkembangan yang
terdahulu di mana tunturan tugas perkemhangannya tidak terlalu hesar. Misalnya:
anak berusia 18 tahun yang kembali minta digendong ketika adiknya lahir.
g. Fiksasi
adalah tindakan tetap bertahan "terpaku" pada tahap per- kembangan
yang pernah dijalani karena takut melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya.
Misalnya, seorang anak yang tidak in- gin ditinggalkan orangtuanya saat berada
di sekolah.
h. Displacement
adalah tindakan mengalihkan perasaan bermusuh- an atau agresivitas dari sumber
aslinya kepada orang lain atau ob jek tertentu yang dianggap lebih aman.
Misalnya, seorang anak yang tidak berani memukul ayahnya akan membarnting pintu
ka- marnya keras-keras untuk melampiaskan marahnya.
i.
Rasionalisasi adalah tindakan
menciptakan alasan yang baik dan masulk akal untuk membenarkan tindakannya yang
salah sehingga kenyataan yang mengecewakan tidak begitu menyakitkan. Misalnya,
seseorang dibatalkan perjalanan dinasnya akan menga takan bahwa sebenarnya dia
tidak terlalu berminat melakukan perjalanan tersebut untuk menutupi
kekecewaannya.
j.
Sublimasi adalah bentuk penyaluran
energi seksual atau agresif ke dalam tingkah laku yang lebih dapat diterinra
secara sosial. Misalnya, dorongan agresif disalurkan melalui mengikuri turnamen
tinju
k. Kompensasi
adalah tingkah laku menutupi kelemahan dengan jalan memuaskan atau menunjukkan
sifat tertentu secara berlebihan karena frustrasi di bidang lain. Misalnya, anak
yang tidak ndapatkan perhatian dalam keluarga suka berbuat masalah di sekolah
agar mendapat perlhatian dari guru dan teman teman- nya.
l.
Identifikasi adalah tindakan menyamakan
dirinya dengan orang lain yang populer untuk meningkatkan rasa liarga dir. Misalnya,
seorang anak menambah nama bintang sepakbola favoritnya di- belakang namanya. [12]
5. Peran dan Fungsi Konselor
Dalam melakukan praktik
psikoanalisis, seorang konselorr akan bersikap anonim (konselor berusaha tidak
dikenal klien) dan hanya berbagai sedikit pengalaman dan perasaannya agar klien
dapat proyeksikan dirinya kepada konselor. Proyeksi inilah yang selanjut- nya
ditafsirkan dan dianalisis. (Corey, 2009). Dalam tulisan Lesmana (2009) anonim
diartikan dengan istilah blank screen. la menambahkan bahwa fungsi anonim juga
agar dapat mempertahankan netralitas su- paya terjadi transferensi (klien
bereaksi terhadap konselor sebagaima- na klien bereaksi terhadap ibu atau
ayahnya).
Corey (2009)
mengatakan bahwa fungsi utama konselor dalam Psikoanalisis adalah membantu
klien mencapai kesadaran dirinya, jujur, mampu melakukan hubungan personal yang
efektif, mampu menangani kecemasan secara realistis dan mampu mengendalikan
tingkah laku yang impulsif dan irasional. Dalam melakukan proses konselingnya,
konselor lebih banyak mendengarkan dan berusaha mengetahui kapan ia harus
membuat penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal
yang tidak disadari.
Seorang konselor
harus peka terhadap bentuk resistensi klien, yaitu suatu keadaan di mana klien
melindungi dirinya agar perasaan, trauma, dan kegagalannya tidak diketahui oleh
konselor. Biasanya klien akan memunculkan bentuk-bentuk mekanisme pertahanan
ego terrhadap interpretesi yang tidak menyenangkan dari konselor (Willis 2009).
Yang unik dalam
psikoanalisis adalah ketika klien diminta ber baring dalam asosiasi bebas di
mana klien menceritakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kesempatan
inilah yang digunakan oleh konselor untuk mendengarkan kesenjangan dan
pertentangan pada cerita klien, dan peka terhadap isyarat perasaan klien. Hal
ini akan merumuskan permasalahan utama klien yang sebenarnya. Peran tera- pi
selanjutnya adalah membuat klien mendapatkan pemahaman ter- hadap
permasalahannya dengan mengalaminya kembali dan setelah itu menyelesaikan
pengalaman masa lalunya yang belum terselesaikan Ini akan menjadikan klien
mampu mengendalikan diri secara rasional atas tingkah lakunya. [13]
6. Tujuan Psikoanalisis
Tujuan khusus psikoanalisis adalah
membentuk kembali struktur kepribadian individu melalui peng ungkapan hal-hal
yang tidak disadari. Untuk itu, klien akan dibawa mundur kepada pengalaman masa
kanak-kanaknya yang kemudian pengalaman terselhut akan dianalisis dan
ditafsirkan sehingga terjadi- lah rekonstruksi kepribadian pada diri klien.
Cottone (dikutip dari Latipun, 2001)
menambahkan tujuan psikoanalisis adalah untuk memperkuat ego (ego strength)
klien dan dalam Konseling menempatkannya dalam posisi yang benar sehingga
miampu memilih secara rasional. Ego sirength bermakna kemampuan klien
mergintegrasikan id dan superego tanpa ada konflik dan usaha represi.
Selanjutnya, tujuan psikoanalisis
secara perinci juga dikemukakan aleh Nelson Jones (dikutip dari Latipur, 2001),
antara lain
a.Bebas dari impuls
b.Memperkuat realitas atas dasar
fungsi ego.
c.Mengganti superego sebagai
realitas kemanusiaan, bukan sebagai hukuman standar moral.
Jadi hal yang paling ditekankan
dalem psikoanalisis adalah perasaan-perasaan dan ingatan yang berkaftan dengan
pemahaman diri meskipun aspek kognitif juga patut dipertimbangkan. [14]
7. Prosedur konseling kelompok
psikoanalisis
Prosedur konseling kelompok
analitik sebagaimana Wolf (Natawidjaja, 2009: 2014) dapat ditempuh melalui enam
tahapan yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan dalam Bentuk
Analisis lndividu
Pada tahap ini konselor kelompok
memilih para peserta -yangvcocok untuk melaksanakan kegiatan kelompok yang akan
dipimpinnya. Perlu diusahakan bahwa mereka memiliki kondisi yang sesuai dengan
kegiatan kelompok. Kondisi itu diantaranya kemampuan untuk mengadakan kontak
dengan kenyataan, kemampuan untuk berhubungan secara pribadi, luwes, dan
potensi untuk menjadi katalisator dalam kegiatan kelompok[15]
b. Tahap Pembentukan Hubungan
Melalui Penafsiran Mimpi dan Fantasi
Pada tahap kedua ini merupakan
sarana untuk mengembangkan iklim saling mempercayai diantara anggota-anggota
kelompok; hal tersebut juga memungkinkan menghadirkan kesan-kesan tertentu
antar sesame anggota kelompok.
c. Interaksi Melalui Asosiasi Bebas
Antarpribadi (Interpersonal Free Association)
Ditandai penggunaan yang mendalam
tentang asosiasi bebas, yaitu komunikasi tanpa sensor mengenai perasaan dan
pemikiran seseorang secepat hal itu muncul dalam ingatannya; hal ini juga
mengandung arti bahwa keberhasilan tahap kedua dicerminkan dengan terjadinya
asosiasi bebas atau berjalannya tahapan ketiga ini; jika pada tahapan ini
didapati bahwa anggota terlihat canggung dalam pengeksplorasian maka, bukan
tidak mungkin bahwa ia merasa belum nyaman atau mempunyai kesan negative atau
semacamnya pada tahap sebelumnya
d. Tahap Analisis Penolakan
Pada tahap ini penolakan itu muncul
secara jelas pada waktu setiap anggota kelompok melakukan penafsirannya tentang
mimpi dan mengadakan asosiasi bebas tentang anggota-anggota lainnya. Tahap
perkembangan kelompok ini dapat diumpamakan sebagai masa pemberontakan kelompok
menentang konselor. Mereka mempertahankan dirinya dengan cara mengisolasikan
diri, memberikan alasan-alasan rasional, dan mengarahkan pembicaraan kepada
hal-hal yang mendetail mengenai aturan kegiatan dalam kelompok.
e. Tahap Analisis Pengalihan
Pada tahap ini konselor benar-benar
perlu menemukan ketakutan setiap anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan
juga mengenai trauma yang menahan perkembangan dirinya. Pada tahap ini,
seyogyanya dibangun "persekutuan kerja" dalam kelompok, yaitu suatu
bentuk kerja sama yang sehat dan realistik antara para anggota kelompok dengan
konselor serta diantara anggota kelompok itu sendiri.
f. Tahap Tindakan Pribadi yang
Disadari dan lntegrasi Sosial
Tahap ini ditandai dengan
berakhirnya distorsi pengalihan yang sangat kuat yang terjadi dalam kelompok.
Pada tahap ini terdapat suatu pola berbagi kepemimpinan dan pemisahan diri
serta penyadaran individual yang realistik. Distorsi pengalihan kelompok
terhadap konselor telah ditangani secara tuntas dan para anggota kelompok
memandang konselor lebih realistis. Tujuan tahap ini adalah untuk membantu
konseli menemukan cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang
lain dan meningkatkan pertumbuhan pribadi konseli sehingga konseli itu dapat
berpikir mancari dan berdiri sendiri dalam
perbuatannya. Selanjutnya Glading (Supriatna, N (2009: 30 – 31) dalam
pelakasanaan proses konseling kelompok psikonalisa terdapat lima teknik dasar
yang digunakan yaitu:
Asosiasi bebas (Free Association);
Penafsiran (dream interpretation);
Analisis resistensi (
interpretation of resistance);
Analisis transferensi
(transference);
Wawasan dan penanganan (insight and
working trough).
1. Asosiasi
Bebas (Free Association Dalam konseling psikoanalisis individual bertujuan
untuk menemukan ketidaksadaran (conscious) yang tidak pernah disadari dalam
pikiran. Natawidjaja (1987) menjelaskan asosiasi bebas merupakan komu-
Konseling Kelompok nikasi mengenai apa pun yang melintas dalam ingat an,meskipun
dalam hal itu sangat menyakitkan, tidak logis, dan tidak relevan. Dalam konteks
kelompok te- ori psikoanalisis, maksud asosiasi bebas sama dengan konteks
individual tetapi teknik ini digunakan untuk memajukan spontanitas, interaksi,
dan perasaan kesa tuan dalam kelompok (Corey, 1990 dalam Adhiputra 2015) Dalam
suatu kelompok asosiasi bebas merupa kan tipe free floating discussion
(mengadakan diskusi bebas) anggota kelompok melaporkan perasaan dan kesan
mereka dengan segera. Salah satu cara untuk memajukan kelompok asosiasi bebas
adalah melalui "go around technique", yaitu mengajukan semua ang gota
untuk membagi perasaan dan kesan (feelings and impressions) mereka tentang yang
lain dalam proses kelompok dan tidak hanya diberikan kesan personal, tapi juga menerima
informasi interpersonal yang baik Selama proses asosiasi bebas berlangsung.
tugas analis adalah mengenali bahan yang direpres dan dikurung dalam
ketidaksadaran. Urutan asosiasi-asosiasi mem- bimbing analis dalam memahami
hubungan-hubung an yang dibuat oleh klien diantara peristiwa-peristiwa yang
dialaminya. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh klien
terhadap asosiasi asostasi merupakan isyarat bagi adanya bahan yang
membangkitkan kecemasan. Analis menafsirkan han dan menyampaikannya kepada
klien, memb bing konseling ke arah peningkatan pemahaman atas dinamika-dinamika
yang mendasarinya, yang tidak disadari oleh klien.
2. Penafsiran
(Dream Interpretation)
Dalam
praktiknya, konselor melakukan berbagal tin dakan analisis yang menyatakan,
menerangkan, bah kan mengajari klien untuk memaknal tingkah laku yang
dimanifestasikan melalul mimpi-mimpi, asosi- asi bebas, resistensi-resistensi,
dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Kolb (1983) mengatakan dalam
Adhiputra (2015) isi mimpi adalah perwujudan (kesa daran) dan wilayah yang
terpendam. Isi perwujudan (manifest content) yang nyata dan dapat diingat dari
peristiwa mimpi, seperti siapa di dalamnya. Isi terpen- dam (latent content)
adalah simbol-simbol peristiwa mimpi yang menyeberang dari analisis pertama,
seperti air sebagai simbol kehidupan. Mimpi pada kerja Kelompok psikoanalisis
terdapat pada kedua level tersebut. Dengan memberikan asosiasi bebas dan
interpretasi mereka terhadapa mimpi yang lain, kelompok memperoleh wawasan
dalam diri mereka dan proses kelompok secara keseluruhan. Sama baik nya dengan
level interpersonal dalam konseling kelompok.
Nandang Rusmana (2009: 32) mengatakan,
bahwa dalam melakukan penafsiran, seorang konselor mes ti tepat waktu, karena
ketidaktepatan waktu dalam melakukan penafsiran akan berakibat pada kemung
kinan munculnya penolakan dari konseli. Ada tiga aturan umum dalam melakukan
penafsiran, yaitu: (1) disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu
dekat dengan kesadaran konseli: (2) penafsiran harus berawal dari permukaan
serta menembus hanya seda- lam klien mampu menjangkaunya, terutama saat klien
mengalami situasi itu secara emosional; dan (3) resis- tensi atau pertahanan,
paling baik ditunjukkan sebe- hum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik
yang ada di baliknya.
Selain berlakunya tiga aturan umum
tersebut dala melakukan penafsiran, menurut Natawidjaja (200 191), seorang
konselor mesti memperhatikan butir butir aturan sebagai berikut: 1) klien akan
lebih mem pertimbangkan penafsiran yang bersifat hipotesis dan bukan fakta, 2)
penafsiran seyogianya berkenaan de ngan materi yang mendekati kesadarankllen.
Hal vang disampaikan sebagai penafsiran itu adalah yang telah mendekati ambang
kesadaran klien. Dengan kata lain konselor perlu menafsirkan materi yang belum
dili hat konseli, tetapi mereka telah bersiap dan mampu menemukannya, 3)
penafsiran itu mesti dimulai dari permukaan dan menuju ke arah penafsiran yang
lebih mendalam, yaitu mengenal masalah yang mempu nyal bobot emosional yang
besar. Dengan demikian. penafsiran tersebut berlangsung berangsur-angsur
sehingga hal-hal yang berbobot emosional yang be sar itu dapat ditafsirkan pada
waktu yang tepat yaitu pada waktu klien telah siap untuk menerima keadaan yang
menyakitkan, 4) sebaiknya ditunjukkan terlebih dahulu pertahanan diri atau
penolakan yang ada pada klien sebelum menafsirkan perasaan atau konflik yang
terdapat di bawah pertahanan diri atau penolakan din itu. Aturan-aturan
tersebut berlaku untuk semua ag gota kelompok, akan tetapi juga dapat
diberlakukan. kepada peserta kelompok secara individual.
3. Analisis Resistensi
(Interpretation of Resistance)
Membantu klien memperoleh wawasan ke
dalam peri- laku sekarang dan masa lalu mereka. Interprerasi seca- ra umum
dilakukan oleh pemimpin dalam tahap awal kelompok, karena anggota kelompok
selalu memiliki pengalaman yang cukup dan tepat. Beberapa pemimpin kelompok
yang mengikuti metode psikoanalisis, klien melakukan interpretasi pada awal
kerja kelom- pok untuk membuat kontak dengan ketidaksadaran individu (Mullan
& Rosenbaum, 1978 dalam Adhiput- ra, 2015).
4. Analisis Transferensi
(Transference)
Transferensi muncul dengan sendirinya
dalam proses terapeutik pada saat di mana kegiatan-kegiatan klien masa lalu
yang tak terselesaikan dengan orang lain menyebabkan ia mengubah masa kini dan
mereduksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibu dan ayahnya.
Kini, dalam hubungannya dengan kon- selor mengalami kembali perasaan penolakan
atau permusuhan yang pernah dialami terhadap orangtua- nya. Jadi, transferensi
merupakan upaya memproyek- sikan emosi yang tidak tepat kepada pemimpin atau
anggota yang lain Hansenet at al. (Gladding, 1991). Transferensi dalam
psikoanalisis kelompok memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan
psiko- analisis individual Thompson dan Kahn, 1970 (Glad- ding, 1991).
5. Wawasan dan Penanganan (Insight
and Working Through)
Wawasan berarti kesadaran akan
sebab-sebab dari kesulitan seseorang pada masa kini. Dalam model psikoanalitik
wawasan juga berarti kesadaran intelek- tual dan emosional tentang hubungan
antara peng- alaman-pengalaman masa lampau dengan masalah masa kini. Jadi,
apabila para anggota kelompok meng- harapkan perubahan dalam beberapa aspek
kepriba- diannya, maka mereka harus mengenai penolakan dan pola perilakunya
yang lama. Ini merupakan pro- ses yang lama dan sulit. Penanganan secara tuntas
itu merupakan aspek yang sangat kompleks dalam psi- koanalisis dan mempunyai
tuntutan yang mendalam. Penanganan tuntas ini merupakan suatu proses yang cOcok
untuk menaggulangi konflik-konfilk yang tidak terpecahkan, sikap dan kebutuhan,
penolakan, peng- alihan terhadap pemimpin kelompok dan rekan seke- lompoknya
dan hal-hal lain yang tidak terpecahkan di masa lampau. Proses penanganan
tuntas merupakan tahap akhir dari kelompok psikoanalitik dengan hasil
bertambahnya kesadaran dan integrasi.
Peran Konselor dalam Konseling
Kelompok Psikoanaliais
Menurut Corey
(1990), peranan pemimpin kelompo (konselor) yang berorientasi psikoanalisis ada
berba- gai macam sesuai dengan karakteristik dan penekanan kelompok yang
dipimpinnya. Tahapan perkembang an kelompok juga merupakan variabel penting. Se
perti suatu peran,pemimpin kelompok psikoanalisis sebaiknya objektif,
menghangatkan, dan relatif tanpa nama.[16]
Pemimpin dalam konseling harus
memberikan ener gi yang positif sehingga anggota kelompok mendapat perasaan
nyaman dan konselor dapat menggali kondi.si psikologis anggota.Pemimpin
mengarahkan jalan nya konseling sehingga tidak keluar jalur dari masalah yang
sedang dÃbahas anggota.Pemimpin juga harus mengerti apa yang dirasakan oleh
anggota, seakan- akan menyatu sehingga tepat sasaran dalam membe- rikan
pemecahan masalah
7. Kelebihan dan Kekurangan
Konseling Kelompok Psikoanalisis
Dalam berbagai teori terdapat
kelebihan dan juga kekurangan yang dapat menjadi suatu koreksi dan diperbaiki.
Hal ini bisa saja melatarbelakangi lahirnya teori yang baru dalam rangka
penyempurnaannya. Konseling kelompok psikoanalisis ini juga memiliki kelebihan
dan kekurangan, antara lain :
a. Kelebihan
Konselor bisa
mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu
pengalaman masa lalu klien. Mampu membantu klien mengetahui masalah yang selama
ini tidak disadarinya. Menolong klien mendapatkan pengertian yang terus-menerus
pada mekanisme penye- suain diri mereka sendiri. Membentuk kembali kepribadian
klien dengan jalan mengabaikan hal yang tidak disadari menjadi sadar kembali
dengan menitik beratkan pada pemahaman dan pengalaman masa anak, untuk ditata,
didiskusikan, dianalisis, dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa
direkonstruksi kembali. Meningkatkan kesadaran dan control ego ter hadap
impuls-impuls dan berbagai bentuk dorongan naluriah yang tidak rasional.
b. Kekurangan
Waktu yang
dibutuhkan dalam terapi terlalu panjang Diperlukan konselor yang benar-benar
terlatih untuk melakukan teknik psikoanalisis Pandangan yang terlalu deterministik dinilai
terlalu merendahkan martabat manusia Terlalu menekankan pada libido, padahal
tidak semua hal dapat dijelaskan dengan libido. Pengalaman masa kecil sangat
menentukan atau berpengaruh terhadap kepribadian masa dewasa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa
psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam psikologi khususnya
yang berhubungen dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik, kemudian
disusul oleh behaviorisme dan eksistensial humanistis.
Menurut
Willis (2009) pengertian psikuanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu:
Sebagai metode penelitian proses-proses psikis. Teknik untuk mengobati gangguan
gangguan psiks. Sebagai teori keprihadian. Dinamika Kepribadian Manusia Frend
me mandang kepribadian manusia tersusun atas tiga sistem terpisah fungsinya
antara satu dan yang lain, tetapi tetap saling erengaruhi Ketiga sistem itu
dikenal sebagai id, ego, dan superego.
DAFTAR PUSTAKA
Kurnanto edi, 2013.konseling
kelompok.alfabeta.
Lumonngga
lubis namora, 2011. Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana
pernadamedia grup.
namora lumongga lubis hasnida, 2016..konseling
kelompok. kencana.
Wahyuni eka komalasari gantira,2011.teori
dantehnik konseling .indeks.
[1] Lumonngga lubis namora, 2011. Memahami
dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana pernadamedia grup.
Hlm140
[2]Ibid.hlm 141
[3] Ibid.hlm142
[4]Wahyuni eka komalasari
gantira,2011.teori dantehnik konseling .indeks.hlm 64
[5]Ibid.hlm 65
[6] Obcid.hlm 143
[7] Ibid. hlm 144
[8] Obcid.hlm 152
[9] Ibid.hlm 146
[10] Kurnanto edi, 2013.konseling
kelompok.alfabeta. hlm 47
[11]
Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta. hlm 47
[12] Kurnanto edi, 2013.konseling
kelompok.alfabeta. hlm 47
[13] Kurnanto edi, 2013.konseling
kelompok.alfabeta. hlm 46
[14] Lumonngga lubis namora, 2011. Memahami
dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana pernadamedia grup.
Hlm150
[15]
namora lumongga lubis hasnida, 2016..konseling kelompok. kencana.hlm 113
[16] Ibid. hlm 118
salam konselor
ReplyDeletesalam juga kak
Delete