Wednesday, September 25, 2019

PENDEKATAN PSIKOANALISIS KONSELING KELOMPOK


Kelompok : 2
MAKALAH KONSELING KELOMPOK
DENGAN PENDEKATAN PSIKOANALISIS
MATA KULIAH KONSELING KELOMPOK








Dosen pengampu:
NOFFIYANTI S. Sos, MA
Disusun oleh:
ISMAIL 1841040268
Kelas: D
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TA. 2019/1441 H
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
            Puji syukur atas kehadiran Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayahnya lah kami para pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah kami dengan tepat waktu ya itu makalah yang berjudul konseling kelompok dengan pendekatan psikoanalisi. Dan solawat beserta salam tak lupa kita sanjung agungkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW. Yang kita nanti-nantikan safaatnya di yaumul kelak .
            Dalam makalah ini kami membahas tentang konseling kelompok dengan pendekatan psikoanalisi untuk memenuhi tugas matakuliah komunikasi konseling. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi para pendengar dan pembaca. Namun kami masih menyadari bahwasanya makalah kami masih terdapat banyak kekurangan oleh karena itu kami masih mengharapan kritik dan saran yang membangun agar dapat kami jadikan pelajaran di kedepanya karena hakikinya manusia tidak ada yang sempurna.
            Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih sebesar-besarnya terhadap rekan-rekan yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini dan ucapan terima kasih pula terhadap Ibu Noffiyanti yang telah membimbing, dan memberikan ilmunya terhadap kami semuah khususnya pada mata kuliah komunikasi konseling. Akhir kata dari kami.
Wasalamualaikum.
Bandar Lampung, 9 September 2019


                                                            Penulis





DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................. i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR IS........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah........................................................... 1
B.Rumusan masalah.................................................................... 1
C.Tujuan...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A Pendekatan Psikoanalisis......................................................... 3
B. Perkembangan Kepribadian.................................................... 5
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan..............................................................................
B.Saran........................................................................................

 DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupan sebuah layanan yang di berikan dari seorang konselor terhadap soerang klien baik sudah mengalami masalah maupun belum. Layanan yang di berikan terhadap klien yang belum memiliki masalah di sebut dengan Bimbingan sedagkan klien yang sudah memiliki masalah layanan atau bantuan yang di berikan adalah konseling, yaitu bertujuan untuk membantu seorang klien untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan klien tersebut.
            Dalam proses konseling seorang konselor harus perlu mengetahui semuah informasi yang berkaitan dengan permasalahan klien tersebut denan berbagai macam teori-teori psikologi, salah satu contohnya adalah psikoanalisis. Nah di dalam makalah ini kami akan menguraikan sebaian dari teori psikoanalisis dan beserta aspek-aspeknya

B.     RUMUSAN MASALAH
  1. Siapa tokoh teori psikoanalisis serta aspek - aspek di dalamnya ?
  2. Bagaimana penerapan teori psikoanalisis dalam konseling kelompok ?
C.    TUJUAN
  1. Untuk menjelaskan tentang tokoh psikoanalisis serta aspek - aspek di dalamnya.
  2. Untuk mengetahui cara cara penerapan teori psikoanalisis dalam konseling kelompok.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENDEKATAN PSIKOANALISIS
Corey (2009) mengatakan bahwa psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam psikologi khususnya yang berhubungen dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik, kemudian disusul oleh behaviorisme dan eksistensial humanistis. Psikoanalisis diciptakan olch Sigmund Freud pada tahun 1986, Pada kemunculannya, teori Freud ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi, pemelitian dan dijadikan landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul kemudian.[1]
Mulanya Freud menggunakan teknk hipnosis untuk menangani pasiennya. Tetapi teknik ini ternyala tidak dapat digunakan pada semua pasien. Dalam perkembangannya, Freud menggunakan teknik asosiasi bebas (free assciation) yang kemudian menjadi dasar dari psikoanalisis. Teknik ini ditemukan ketika Hrued melihat beberapa pasiennya tidak dapat dihip- noia atau tidak memberi tanggapan terhadap sagesti atau pertanyaan yang mengungkap permasalahan klien (Gunarsa, 1996). Selanjutnva, mengembangkan lagi teknik baru yang dikeral sebagai analisis nimp.
Menurut Willis (2009) pengertian psikuanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu: Sebagai metode penelitian proses-proses psikis. Teknik untuk mengobati gangguan gangguan psiks. Sebagai teori keprihadian. Adapun hal-hal yang perlu dibicaralkan megenai pendekatan pskoanalisis ini adalah: bagaimana psikoanalisis memandang dinami- kepribedian manusia, perkembangan kepribadian. kesadaran dan oetidaksadaran, mekanisme pertahanan ego, peran dan fungsi konselor, dan teknik-tekaik lerapi yang digunakan dalam psikoanalisis.[2]
 1. Dinamika Kepribadian Manusia Frend me mandang kepribadian manusia tersusun atas tiga sistem terpisah fungsinya antara satu dan yang lain, tetapi tetap saling erengaruhi Ketiga sistem itu dikenal sebagai id, ego, dan superego.  
a. Id
Id meupakan subsistem kepribadian asli yang dibawa manusi sejak awal ia dilahirkan ke dunia. Id bersifat primitif dan bekerja ber dasarkan prinsip kesenangan. Ciri-ciri id menurut Lesmana (2009) adalah bekerja di luar kesadaran manusia, irasional, tidak terorganisasi, berorientasi pada kesenangan, primitif, berperan sebagai sumber libido atau tenaga hidup dan energi, dan teralkhir merupakan sumbe dari dorongan dan keinginan dasar untuk hidup dan mati. Pemenuhan Id tidak dapat ditunda, karena itulah id dianggap seperti anak manja yang tidak berpikir logis dan bertindak hanya untuk memuaskan  butuhan naluriah.[3]
b. Ego
Berbeda dengan id yang bekerja hanya untuk memuaskan kebtuhan naluriah, ego bertindak scbaliknya. Ego berperan menghadapi realitas hidup dan berasal dari kebudayaan dan norma norma yang berlaku di masyarakat. Prinsip kerjanya selalu bertentangan dengan id. Corey (2009) menyebut ego sebagai eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur. Tugas ego adalah mengen dalikan id dan menghalau impuls keluar dari kesadaran melalui meka nisme pertahanan. Cara kerja ego berdasarkan prinsip realitas (reality principles) yang melakukan suatu tindakan sesuai dengan dunia ril.[4]
c. Superego
Superego merupakan kode moral bagi individu yang menentukan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego ter bentuk dari nilai-nilai yang terdapat dalam keluarga dan masyarakat yang dipelajari di sepanjang tahun-tahun pertama hidup manusia (Lesmana, 2005). Superego bekerja berdasarkan prinsip moral yang orientasinya bukan pada kesenangan tetapi pada kesempurnaan ke- pribadian. Menurut Corey (2009) superego berkaitan dengan imbalan dan hukuman. Imbalan berupa perasaan bangga dan mendapatkan cinta, sementara hukuman berupa perasaan berdosa dan rendah diri.[5]
Selanjutnya Freud memandang manusia bersifat pesimistis, ministik, mekanistik, dan reduksionistik Menurutnya, tingkah laku manusia dikendalikan oleh dorongan-dorogan biologis dan motivasi tidak sadar serta pengaruh peristiwa psikoseksual yang terjadi pada ima tahun pertama kehidupan. Fre ud juga menekankan adanya naluri naluri seksual (berkaitan dengan insting hidup) dan impuls agresif (berkaitan dengan insting kenatian) yang mendoroag manusia her tinakah laku. la mengatakan bahwa tingkah laku nanusia pada umum- ma untuk memperoleh kesenangan dan menghindari kesakitan. (143)A
2. Perkembangan Kepribadian
Selain ketiga sistem yang dibicarakan di atas, perkembangan kepribadian manusia menurut versi Frend juga dipengaruh oleh lima tahun pertama kehidupan yang dinamakan Freud sebagai perkembangan psikoseksual. Secara berurutan fase perkembangan tersebut meliputi fase oral, fase anal, fase phalik, fase laten, dan fase geital. Secara sing kat penulis akan menguraikannya satu persatu .
a.Fase Oral
Fase oral terjadi pada saat tahun pertama keridupan atau sejak bayi dilahirkan sampai berusia satu tahun. Pengalaman kenikmatan pertama manusia adalah ketika ia mengisap puting susu ibu dengan mulut yang merupakan daerah kenikmatan (zone of pieasure) utama. Ketika berusia di bawah satu tahun kepuasan dasar didapatkan mela- lui sucking dan menggigit (Lesmana, 2005) Tugas perkembangan pada fese oral adalah memperoleh rasa percaya baik kepada orang lain, dunia, maupun diri sendiri. Efek dari penalakan pada fase ini dapat menycbabkan anak menjadi penakut, ticak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian. Menuru: Corey (2009) ketidakpuasan pada fase in juga akan enyeoabkan timbulnya gangguan kepribadian sepertis ketidakper- ayaan paca dunia, ketakutan menjangkau orang lain, penolakan ter- edap afeksi. ketakutan untuk dicintai dan mencintai, harga diri yang dh, isasi dan penarikan diri, dan ketidakmampuan menjalin hubungan yang intim dengan orang lain.[6]
b. Fase Anal
Selanjutnya adalah fase anal yang terjadi antara usia satu tahun sampai tiga tahun di mana zona kenikmatan berada pada saat mena han atau melepaskan feses. Anak terus-menerus berhadapan dengan tuntutan orangtua dan diharapkan mampu mengendalikan buang air Ketika toilet training diberlakukan, anak akan memperoleh pengalam. an pertamanya dalam hal disiplin dan moral. Pada fase inilah anak akan mengalami perasaan benci, marah, dan hasrat merusak. Anak juga akan belajar mengakui perasaan buruknya dan bagaimana cara mengatasi perasaan tersebut. Tugas perkembangan yang harus dilakukan anak pada fase anal adalah: belajar mandiri, memiliki kekuatan pribadi dan otonom ser ta belajar bagaimana mengaku: dan menangani perasaan negatifnya (Corey, 2009). Hal yang perlu ditekankan pada fase ini yaitu anak diharapkan mampu belajar bereksperim.en dalam kehidupannya. Orangtua sebal nya jangan terlalu terlibat pada pekerjaan anak yang kemungkinan dapat diselesaikannya sendiri walaupun dengan berbagai kesalahant Keterlibatan orangtua yang berlebihan pada anak akan membuat anal tidak memilik: kes anggupan pribadi menjalankan fungsi dirinya.
C. Fase Phalik
Fase phalik ter adi antara rentang usia 3-5 tahun. Adapun kenikmatan berada paca alat kelamin. Istilah yang kerap muncul pada fase ini adalah ocdipus complex (ketertarikan seksual pada sosok ibu lalu mengidentifikasi dirinya pada sosok ayah untuk merepresi ke- inginannya memiliki ibu) yang berlaku bagi anak laki-laki dan electra complex (ketertarikan seksual pada ayah) pada anak perempuan. Kegagalan mengidentifikasi sosok orangtua sestai dengan jenis kelaminnya akan mengakibatkan anak mengalami kebingungan akan peran seks- nya secara normal dan kegagalan dalam menemukan standar moral yang tepat (Latipun, 2001). Menurut Corey (2009), fase phalik juga merupakan tahap perkem bangan hati nurani di mana anak diperkenalkan dengan standar moral.[7]
Orangtua yang terlalu kaku dalam menetapkan moral akan mengaki- batkan dampak negatif bagi anak, seperti: anak sangat mematuhi mo- ral tetapi hanya karena takut, anak menjadi kaku, timbulnya perasaan berdosa, penuh penyesalan, rendah diri, dan penghukuman diri.
d.Fase Laten
Fase laten juga dikenal sebagai tahap pregenital yang terjadi antara usia 6-12 tahun (awal pubertas). Dinamakan fase laten/tenang karena pada fase ini anak tidak lagi dikuasai oleh insting dan impuls-impuls yang mengarahkan tingkah lakunya. Selain itu anak hanya sedikit ber minat pada seksualitas karena disebabkan kesibukan belajar, aktivitas dengan teman sebaya, dan keterampilan fisik. Walaupun minat seksual di represi, tetapi hal tersebut akan muncul dan memengaruhi kepriba diannya.
e. Fase Genital
Fase genital menandai berakhirnya fase psikoseksual pada indi- vidu Fase ini terjadi pada masa pubertas (di atas usia 12 tahun), Perilaku umum yang tampak pada fase ini adalah kecenderungan ter- farik pada lawan jenis, bersosialisasi dan berkelompok, serta menjalin hubungan kerja. Semua tingkah laku yang dilakukan kerap kali meng- arah pada proses menciptakan hubungan dengan orang lain. Hal yang perlu diketahui adalah apabila semua fase sebelumnya dapat dilewati oleh individu dengan baik, maka ketika individu me- masuki fase genital, ia akan dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dan normal. Tetapi apabila fase psikoseksual sebelumnya tidak tersele- saikan atau mengalami hambatan maka akan berpengaruh pula pada kesulitan individu menyesuaikan diri dengan perannya sebagai orang dewasa (Lesmana, 2005). Freud mengungkapkan bahwa masalah yang dapat terjadi ketika individu berada pada fase ini yang merupakan kesalahan pada fase terdahulu adalah: frustrasi berlebihan (excessive frustration), atau ke- nikmatan berlebihan (overindulgence).
3. Kesadaran dan Ketidaksadaran
Kesadaran dan ketidaksadaran adalah bagian konsep terpeniing yang dikemukakan oleh Frend. Keduanya sangat menentukan tingkat laku dan permasalahan yang berlubungan dengan kepribadian manu sia Freud membagi kesadaran menjadi tiga hagian utama, yaitu alam sadar (conscious), a.am prasadar (preconscious) dan alam bawah sadar (unconscious) Penjela sannya adalalh sebagai berikut:
  1. Alam Sadar (Conscious)
Alam sadar merapakan bagian yang berfungsi untuk mengingl menyadari, dan merasakan sesuatu secara sadar/nyata (1atipun, 2001) Meskipun alam sadar bersentuhan langsung dengan kenyataan tetapi ia menempati bagian terkecil dari keseluruhan kepribadian manusia Alam sadar inilak yang selalu dimunculkan individu ketika berhadap an dengan orang lain. Freud mengibaratkan mengenai kesadaran ini seperti gunung es yang mengapung di permukaan laut. Dalam hal ini, alam sadar adalah puncak yang kelihatan dar: gunung es tersebut. [8]
  1. Alam Prasadar (Preconscious)
Menurut Latipun (2001), alam prasadar adalah bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan, dan perasaan dan berfungsi mengan- tarkan ide, ingatan, dan perasaan tersebut ke alam sadar jika individu berusaha mengingathya kembali. 146A
  1. Alam Bawah Sadar (Unconscious).
Alam bawah sadar adalah bagian dari dunia kesadaran yang pa- ling menentukan terbentuknya tingkah laku/kepribadian individu Alam bawah sadar menyimpan semua ingatan atas peristiwa-peristi- wa tertentu yang telah direpresi individu. Alam bawah sadar juga me- nyimpan ingatan tentang keinginan yang tidak tercapai oleh individu.
Menurut pandangan psikoanalisis, untuk mengetahui akar per- masalahan yang dialami klien, tahap yang harus dilakukan adalah melalui eksplorasi alam tidak sadar sehingga motif-motif tidak sadar menjadi disadari oleh individu. [9]
4.Mekanisme Pertahanan Ego
Mekanisme pertahanan ego adalah cara yang digunakan individu ntuk mengatasi kecemasan yang diakibatkan karena keinginannya tidek terpenuhi. Individu yang melakukan melkanisme pertahanan ego secara wajar masih dikategorikan sebagai tingkah laku yang adaptif, tetapi bila penggunaannya berlebihan sehingga berubah menjadi gaya hidup untuk menghadapi realitas, tingkah lalku tersebut dapat tergolong petalogis.
Freud (dikutip dari Corey, 2009) mengemukakan berbagai bentuk mekanisme pertahanan ego yang dimanifestasikan dalam tingkah Jaku. Individu secara alamiah akan menyeleksi bentuk pertahanan seperti apa yang akan dilakukannya. Ini tergantung dari tinggi rendahnya tingkat kecemasan. Walapun memiliki perbedaan dalam penggunaan- nya, akan tetapi semua bentuk mekanisme pertahanan ego memiliki dua ciri utama yaitu: menyangkat mendstorsi kenyataan, dan beroperasi pada taraf alam bawah sadar.[10]
Bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego :
a.       Represi, adalah melupakan isi kesadaran yang traumatis dan bisa membangkitkan kecemasan dan menekan hal-hal yang menyakit- kan ke alam bawah sadar. Represi merupakan dasar bagi terben- tuknya mekanisme pertahanan ego yang lain. Terkadang individu tidak menyadari bahwa ia telah melakukan represi. Misalnya: seorang korban tsunami di Aceh berusaha melupakan peristiwa tersebut yang telah mengakibatkan ia kehilangan keluarganya .
b.      Penyangkalan (denial). Penyangkalan hampir sama dengan represi di mana individu menyangkal untuk menerima masalah atau ke- nyataan yang membangkitkan kecemasan. Misalnya, seorang istri menyangkal perkataan temannya yang melihat bahwa suaminyatelah selingkuh dengan wanita lain. [11]
c.       Formasi reaksi adalah melakukan tindakan yang berlawanan de- ngan hasrat hasrat alam bawah sadar untuk menyangkal perase an yang mendatangkan kecemasan. Dalam hal ini individu dapat saja menyembunyikan kebenciannya dengan berpura-pura menci Misalnya, seorang ibu yang menolak kelahiran anaknya terliha begitu melindungi araknya secara berlebihan.
d.      Proyeksi, mengalamatkan pikiran, perasaan, atau motif yang da dapat daterimanya kepada erang lain. Melalui proyeksi, individu cenderung menyalahkan tingkah laku orang lain untuk menutupi kesalahannya. Misalnya, seseorang yang mengatakan bahwa kega- galanıya dalam ujian karena teman sebangkunya yang berisik
e.       Introyeksi adalah menanamkan nilai nilai dan standar yang dimi liki orang lain ke dalam dirinya sendiri. Introyeksi dapat bernia positif jika individu menanamkan nilai nilai positif dari orano tersebut. Misalnya, seorang anak yang senang berkelahi karena selalu melihat kedua orangtuanya berkclahi.
f.       Regresi adalah tindakan melangkah mundur secara tidak sadar ke fase perkembangan yang terdahulu di mana tunturan tugas perkemhangannya tidak terlalu hesar. Misalnya: anak berusia 18 tahun yang kembali minta digendong ketika adiknya lahir.
g.      Fiksasi adalah tindakan tetap bertahan "terpaku" pada tahap per- kembangan yang pernah dijalani karena takut melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya. Misalnya, seorang anak yang tidak in- gin ditinggalkan orangtuanya saat berada di sekolah.
h.      Displacement adalah tindakan mengalihkan perasaan bermusuh- an atau agresivitas dari sumber aslinya kepada orang lain atau ob jek tertentu yang dianggap lebih aman. Misalnya, seorang anak yang tidak berani memukul ayahnya akan membarnting pintu ka- marnya keras-keras untuk melampiaskan marahnya.
i.        Rasionalisasi adalah tindakan menciptakan alasan yang baik dan masulk akal untuk membenarkan tindakannya yang salah sehingga kenyataan yang mengecewakan tidak begitu menyakitkan. Misalnya, seseorang dibatalkan perjalanan dinasnya akan menga takan bahwa sebenarnya dia tidak terlalu berminat melakukan perjalanan tersebut untuk menutupi kekecewaannya.
j.        Sublimasi adalah bentuk penyaluran energi seksual atau agresif ke dalam tingkah laku yang lebih dapat diterinra secara sosial. Misalnya, dorongan agresif disalurkan melalui mengikuri turnamen tinju
k.      Kompensasi adalah tingkah laku menutupi kelemahan dengan jalan memuaskan atau menunjukkan sifat tertentu secara berlebihan karena frustrasi di bidang lain. Misalnya, anak yang tidak ndapatkan perhatian dalam keluarga suka berbuat masalah di sekolah agar mendapat perlhatian dari guru dan teman teman- nya.
l.        Identifikasi adalah tindakan menyamakan dirinya dengan orang lain yang populer untuk meningkatkan rasa liarga dir. Misalnya, seorang anak menambah nama bintang sepakbola favoritnya di- belakang namanya. [12]
5. Peran dan Fungsi Konselor
Dalam melakukan praktik psikoanalisis, seorang konselorr akan bersikap anonim (konselor berusaha tidak dikenal klien) dan hanya berbagai sedikit pengalaman dan perasaannya agar klien dapat proyeksikan dirinya kepada konselor. Proyeksi inilah yang selanjut- nya ditafsirkan dan dianalisis. (Corey, 2009). Dalam tulisan Lesmana (2009) anonim diartikan dengan istilah blank screen. la menambahkan bahwa fungsi anonim juga agar dapat mempertahankan netralitas su- paya terjadi transferensi (klien bereaksi terhadap konselor sebagaima- na klien bereaksi terhadap ibu atau ayahnya).
Corey (2009) mengatakan bahwa fungsi utama konselor dalam Psikoanalisis adalah membantu klien mencapai kesadaran dirinya, jujur, mampu melakukan hubungan personal yang efektif, mampu menangani kecemasan secara realistis dan mampu mengendalikan tingkah laku yang impulsif dan irasional. Dalam melakukan proses konselingnya, konselor lebih banyak mendengarkan dan berusaha mengetahui kapan ia harus membuat penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari.
Seorang konselor harus peka terhadap bentuk resistensi klien, yaitu suatu keadaan di mana klien melindungi dirinya agar perasaan, trauma, dan kegagalannya tidak diketahui oleh konselor. Biasanya klien akan memunculkan bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego terrhadap interpretesi yang tidak menyenangkan dari konselor (Willis 2009).
Yang unik dalam psikoanalisis adalah ketika klien diminta ber baring dalam asosiasi bebas di mana klien menceritakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kesempatan inilah yang digunakan oleh konselor untuk mendengarkan kesenjangan dan pertentangan pada cerita klien, dan peka terhadap isyarat perasaan klien. Hal ini akan merumuskan permasalahan utama klien yang sebenarnya. Peran tera- pi selanjutnya adalah membuat klien mendapatkan pemahaman ter- hadap permasalahannya dengan mengalaminya kembali dan setelah itu menyelesaikan pengalaman masa lalunya yang belum terselesaikan Ini akan menjadikan klien mampu mengendalikan diri secara rasional atas tingkah lakunya. [13]



6. Tujuan Psikoanalisis
Tujuan khusus psikoanalisis adalah membentuk kembali struktur kepribadian individu melalui peng ungkapan hal-hal yang tidak disadari. Untuk itu, klien akan dibawa mundur kepada pengalaman masa kanak-kanaknya yang kemudian pengalaman terselhut akan dianalisis dan ditafsirkan sehingga terjadi- lah rekonstruksi kepribadian pada diri klien.
Cottone (dikutip dari Latipun, 2001) menambahkan tujuan psikoanalisis adalah untuk memperkuat ego (ego strength) klien dan dalam Konseling menempatkannya dalam posisi yang benar sehingga miampu memilih secara rasional. Ego sirength bermakna kemampuan klien mergintegrasikan id dan superego tanpa ada konflik dan usaha represi.
Selanjutnya, tujuan psikoanalisis secara perinci juga dikemukakan aleh Nelson Jones (dikutip dari Latipur, 2001), antara lain
a.Bebas dari impuls
b.Memperkuat realitas atas dasar fungsi ego.
c.Mengganti superego sebagai realitas kemanusiaan, bukan sebagai hukuman standar moral.
Jadi hal yang paling ditekankan dalem psikoanalisis adalah perasaan-perasaan dan ingatan yang berkaftan dengan pemahaman diri meskipun aspek kognitif juga patut dipertimbangkan. [14]
7. Prosedur konseling kelompok psikoanalisis
Prosedur konseling kelompok analitik sebagaimana Wolf (Natawidjaja, 2009: 2014) dapat ditempuh melalui enam tahapan yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Persiapan dalam Bentuk Analisis lndividu
Pada tahap ini konselor kelompok memilih para peserta -yangvcocok untuk melaksanakan kegiatan kelompok yang akan dipimpinnya. Perlu diusahakan bahwa mereka memiliki kondisi yang sesuai dengan kegiatan kelompok. Kondisi itu diantaranya kemampuan untuk mengadakan kontak dengan kenyataan, kemampuan untuk berhubungan secara pribadi, luwes, dan potensi untuk menjadi katalisator dalam kegiatan kelompok[15]
b. Tahap Pembentukan Hubungan Melalui Penafsiran Mimpi dan Fantasi
Pada tahap kedua ini merupakan sarana untuk mengembangkan iklim saling mempercayai diantara anggota-anggota kelompok; hal tersebut juga memungkinkan menghadirkan kesan-kesan tertentu antar sesame anggota kelompok.
c. Interaksi Melalui Asosiasi Bebas Antarpribadi (Interpersonal Free Association)
Ditandai penggunaan yang mendalam tentang asosiasi bebas, yaitu komunikasi tanpa sensor mengenai perasaan dan pemikiran seseorang secepat hal itu muncul dalam ingatannya; hal ini juga mengandung arti bahwa keberhasilan tahap kedua dicerminkan dengan terjadinya asosiasi bebas atau berjalannya tahapan ketiga ini; jika pada tahapan ini didapati bahwa anggota terlihat canggung dalam pengeksplorasian maka, bukan tidak mungkin bahwa ia merasa belum nyaman atau mempunyai kesan negative atau semacamnya pada tahap sebelumnya
d. Tahap Analisis Penolakan
Pada tahap ini penolakan itu muncul secara jelas pada waktu setiap anggota kelompok melakukan penafsirannya tentang mimpi dan mengadakan asosiasi bebas tentang anggota-anggota lainnya. Tahap perkembangan kelompok ini dapat diumpamakan sebagai masa pemberontakan kelompok menentang konselor. Mereka mempertahankan dirinya dengan cara mengisolasikan diri, memberikan alasan-alasan rasional, dan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal yang mendetail mengenai aturan kegiatan dalam kelompok.
e. Tahap Analisis Pengalihan
Pada tahap ini konselor benar-benar perlu menemukan ketakutan setiap anggota kelompok untuk mengubah dirinya dan juga mengenai trauma yang menahan perkembangan dirinya. Pada tahap ini, seyogyanya dibangun "persekutuan kerja" dalam kelompok, yaitu suatu bentuk kerja sama yang sehat dan realistik antara para anggota kelompok dengan konselor serta diantara anggota kelompok itu sendiri.
f. Tahap Tindakan Pribadi yang Disadari dan lntegrasi Sosial
Tahap ini ditandai dengan berakhirnya distorsi pengalihan yang sangat kuat yang terjadi dalam kelompok. Pada tahap ini terdapat suatu pola berbagi kepemimpinan dan pemisahan diri serta penyadaran individual yang realistik. Distorsi pengalihan kelompok terhadap konselor telah ditangani secara tuntas dan para anggota kelompok memandang konselor lebih realistis. Tujuan tahap ini adalah untuk membantu konseli menemukan cara-cara yang lebih efektif untuk berhubungan dengan orang lain dan meningkatkan pertumbuhan pribadi konseli sehingga konseli itu dapat berpikir mancari dan berdiri sendiri dalam  perbuatannya. Selanjutnya Glading (Supriatna, N (2009: 30 – 31) dalam pelakasanaan proses konseling kelompok psikonalisa terdapat lima teknik dasar yang digunakan yaitu:
Asosiasi bebas (Free Association);
Penafsiran (dream interpretation);
Analisis resistensi ( interpretation of resistance);
Analisis transferensi (transference);
Wawasan dan penanganan (insight and working trough).
1.      Asosiasi Bebas (Free Association Dalam konseling psikoanalisis individual bertujuan untuk menemukan ketidaksadaran (conscious) yang tidak pernah disadari dalam pikiran. Natawidjaja (1987) menjelaskan asosiasi bebas merupakan komu- Konseling Kelompok nikasi mengenai apa pun yang melintas dalam ingat an,meskipun dalam hal itu sangat menyakitkan, tidak logis, dan tidak relevan. Dalam konteks kelompok te- ori psikoanalisis, maksud asosiasi bebas sama dengan konteks individual tetapi teknik ini digunakan untuk memajukan spontanitas, interaksi, dan perasaan kesa tuan dalam kelompok (Corey, 1990 dalam Adhiputra 2015) Dalam suatu kelompok asosiasi bebas merupa kan tipe free floating discussion (mengadakan diskusi bebas) anggota kelompok melaporkan perasaan dan kesan mereka dengan segera. Salah satu cara untuk memajukan kelompok asosiasi bebas adalah melalui "go around technique", yaitu mengajukan semua ang gota untuk membagi perasaan dan kesan (feelings and impressions) mereka tentang yang lain dalam proses kelompok dan tidak hanya diberikan kesan personal, tapi juga menerima informasi interpersonal yang baik Selama proses asosiasi bebas berlangsung. tugas analis adalah mengenali bahan yang direpres dan dikurung dalam ketidaksadaran. Urutan asosiasi-asosiasi mem- bimbing analis dalam memahami hubungan-hubung an yang dibuat oleh klien diantara peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Penghalangan-penghalangan atau pengacauan-pengacauan oleh klien terhadap asosiasi asostasi merupakan isyarat bagi adanya bahan yang membangkitkan kecemasan. Analis menafsirkan han dan menyampaikannya kepada klien, memb bing konseling ke arah peningkatan pemahaman atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak disadari oleh klien.
2.      Penafsiran (Dream Interpretation)
Dalam praktiknya, konselor melakukan berbagal tin dakan analisis yang menyatakan, menerangkan, bah kan mengajari klien untuk memaknal tingkah laku yang dimanifestasikan melalul mimpi-mimpi, asosi- asi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Kolb (1983) mengatakan dalam Adhiputra (2015) isi mimpi adalah perwujudan (kesa daran) dan wilayah yang terpendam. Isi perwujudan (manifest content) yang nyata dan dapat diingat dari peristiwa mimpi, seperti siapa di dalamnya. Isi terpen- dam (latent content) adalah simbol-simbol peristiwa mimpi yang menyeberang dari analisis pertama, seperti air sebagai simbol kehidupan. Mimpi pada kerja Kelompok psikoanalisis terdapat pada kedua level tersebut. Dengan memberikan asosiasi bebas dan interpretasi mereka terhadapa mimpi yang lain, kelompok memperoleh wawasan dalam diri mereka dan proses kelompok secara keseluruhan. Sama baik nya dengan level interpersonal dalam konseling kelompok.
Nandang Rusmana (2009: 32) mengatakan, bahwa dalam melakukan penafsiran, seorang konselor mes ti tepat waktu, karena ketidaktepatan waktu dalam melakukan penafsiran akan berakibat pada kemung kinan munculnya penolakan dari konseli. Ada tiga aturan umum dalam melakukan penafsiran, yaitu: (1) disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran konseli: (2) penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya seda- lam klien mampu menjangkaunya, terutama saat klien mengalami situasi itu secara emosional; dan (3) resis- tensi atau pertahanan, paling baik ditunjukkan sebe- hum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada di baliknya.
Selain berlakunya tiga aturan umum tersebut dala melakukan penafsiran, menurut Natawidjaja (200 191), seorang konselor mesti memperhatikan butir butir aturan sebagai berikut: 1) klien akan lebih mem pertimbangkan penafsiran yang bersifat hipotesis dan bukan fakta, 2) penafsiran seyogianya berkenaan de ngan materi yang mendekati kesadarankllen. Hal vang disampaikan sebagai penafsiran itu adalah yang telah mendekati ambang kesadaran klien. Dengan kata lain konselor perlu menafsirkan materi yang belum dili hat konseli, tetapi mereka telah bersiap dan mampu menemukannya, 3) penafsiran itu mesti dimulai dari permukaan dan menuju ke arah penafsiran yang lebih mendalam, yaitu mengenal masalah yang mempu nyal bobot emosional yang besar. Dengan demikian. penafsiran tersebut berlangsung berangsur-angsur sehingga hal-hal yang berbobot emosional yang be sar itu dapat ditafsirkan pada waktu yang tepat yaitu pada waktu klien telah siap untuk menerima keadaan yang menyakitkan, 4) sebaiknya ditunjukkan terlebih dahulu pertahanan diri atau penolakan yang ada pada klien sebelum menafsirkan perasaan atau konflik yang terdapat di bawah pertahanan diri atau penolakan din itu. Aturan-aturan tersebut berlaku untuk semua ag gota kelompok, akan tetapi juga dapat diberlakukan. kepada peserta kelompok secara individual.
3. Analisis Resistensi (Interpretation of Resistance)
Membantu klien memperoleh wawasan ke dalam peri- laku sekarang dan masa lalu mereka. Interprerasi seca- ra umum dilakukan oleh pemimpin dalam tahap awal kelompok, karena anggota kelompok selalu memiliki pengalaman yang cukup dan tepat. Beberapa pemimpin kelompok yang mengikuti metode psikoanalisis, klien melakukan interpretasi pada awal kerja kelom- pok untuk membuat kontak dengan ketidaksadaran individu (Mullan & Rosenbaum, 1978 dalam Adhiput- ra, 2015).
4. Analisis Transferensi (Transference)
Transferensi muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat di mana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain menyebabkan ia mengubah masa kini dan mereduksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibu dan ayahnya. Kini, dalam hubungannya dengan kon- selor mengalami kembali perasaan penolakan atau permusuhan yang pernah dialami terhadap orangtua- nya. Jadi, transferensi merupakan upaya memproyek- sikan emosi yang tidak tepat kepada pemimpin atau anggota yang lain Hansenet at al. (Gladding, 1991). Transferensi dalam psikoanalisis kelompok memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan psiko- analisis individual Thompson dan Kahn, 1970 (Glad- ding, 1991).
5. Wawasan dan Penanganan (Insight and Working Through)
Wawasan berarti kesadaran akan sebab-sebab dari kesulitan seseorang pada masa kini. Dalam model psikoanalitik wawasan juga berarti kesadaran intelek- tual dan emosional tentang hubungan antara peng- alaman-pengalaman masa lampau dengan masalah masa kini. Jadi, apabila para anggota kelompok meng- harapkan perubahan dalam beberapa aspek kepriba- diannya, maka mereka harus mengenai penolakan dan pola perilakunya yang lama. Ini merupakan pro- ses yang lama dan sulit. Penanganan secara tuntas itu merupakan aspek yang sangat kompleks dalam psi- koanalisis dan mempunyai tuntutan yang mendalam. Penanganan tuntas ini merupakan suatu proses yang cOcok untuk menaggulangi konflik-konfilk yang tidak terpecahkan, sikap dan kebutuhan, penolakan, peng- alihan terhadap pemimpin kelompok dan rekan seke- lompoknya dan hal-hal lain yang tidak terpecahkan di masa lampau. Proses penanganan tuntas merupakan tahap akhir dari kelompok psikoanalitik dengan hasil bertambahnya kesadaran dan integrasi.
Peran Konselor dalam Konseling Kelompok Psikoanaliais
Menurut Corey (1990), peranan pemimpin kelompo (konselor) yang berorientasi psikoanalisis ada berba- gai macam sesuai dengan karakteristik dan penekanan kelompok yang dipimpinnya. Tahapan perkembang an kelompok juga merupakan variabel penting. Se perti suatu peran,pemimpin kelompok psikoanalisis sebaiknya objektif, menghangatkan, dan relatif tanpa nama.[16]
Pemimpin dalam konseling harus memberikan ener gi yang positif sehingga anggota kelompok mendapat perasaan nyaman dan konselor dapat menggali kondi.si psikologis anggota.Pemimpin mengarahkan jalan nya konseling sehingga tidak keluar jalur dari masalah yang sedang díbahas anggota.Pemimpin juga harus mengerti apa yang dirasakan oleh anggota, seakan- akan menyatu sehingga tepat sasaran dalam membe- rikan pemecahan masalah
7. Kelebihan dan Kekurangan Konseling Kelompok Psikoanalisis
Dalam berbagai teori terdapat kelebihan dan juga kekurangan yang dapat menjadi suatu koreksi dan diperbaiki. Hal ini bisa saja melatarbelakangi lahirnya teori yang baru dalam rangka penyempurnaannya. Konseling kelompok psikoanalisis ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan, antara lain :

a. Kelebihan
Konselor bisa mengetahui masalah pada diri klien, karena prosesnya dimulai dari mencari tahu pengalaman masa lalu klien. Mampu membantu klien mengetahui masalah yang selama ini tidak disadarinya. Menolong klien mendapatkan pengertian yang terus-menerus pada mekanisme penye- suain diri mereka sendiri. Membentuk kembali kepribadian klien dengan jalan mengabaikan hal yang tidak disadari menjadi sadar kembali dengan menitik beratkan pada pemahaman dan pengalaman masa anak, untuk ditata, didiskusikan, dianalisis, dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi kembali. Meningkatkan kesadaran dan control ego ter hadap impuls-impuls dan berbagai bentuk dorongan naluriah yang tidak rasional.
b. Kekurangan
Waktu yang dibutuhkan dalam terapi terlalu panjang Diperlukan konselor yang benar-benar terlatih untuk melakukan teknik psikoanalisis  Pandangan yang terlalu deterministik dinilai terlalu merendahkan martabat manusia Terlalu menekankan pada libido, padahal tidak semua hal dapat dijelaskan dengan libido. Pengalaman masa kecil sangat menentukan atau berpengaruh terhadap kepribadian masa dewasa.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahwa psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam psikologi khususnya yang berhubungen dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik, kemudian disusul oleh behaviorisme dan eksistensial humanistis.
Menurut Willis (2009) pengertian psikuanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu: Sebagai metode penelitian proses-proses psikis. Teknik untuk mengobati gangguan gangguan psiks. Sebagai teori keprihadian. Dinamika Kepribadian Manusia Frend me mandang kepribadian manusia tersusun atas tiga sistem terpisah fungsinya antara satu dan yang lain, tetapi tetap saling erengaruhi Ketiga sistem itu dikenal sebagai id, ego, dan superego.


DAFTAR PUSTAKA


Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta.
Lumonngga lubis namora, 2011. Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana pernadamedia grup.
namora lumongga lubis hasnida, 2016..konseling kelompok. kencana.
Wahyuni eka komalasari gantira,2011.teori dantehnik konseling .indeks.




[1] Lumonngga lubis namora, 2011. Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana pernadamedia grup. Hlm140
[2]Ibid.hlm 141      
[3] Ibid.hlm142
[4]Wahyuni eka komalasari gantira,2011.teori dantehnik konseling .indeks.hlm 64
[5]Ibid.hlm 65
[6] Obcid.hlm 143
[7] Ibid. hlm 144
[8] Obcid.hlm 152
[9] Ibid.hlm 146
[10] Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta. hlm 47
[11]  Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta. hlm 47
[12] Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta. hlm 47
[13]  Kurnanto edi, 2013.konseling kelompok.alfabeta. hlm 46
[14] Lumonngga lubis namora, 2011. Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Kencana pernadamedia grup. Hlm150
[15] namora lumongga lubis hasnida, 2016..konseling kelompok. kencana.hlm 113

[16] Ibid. hlm 118

2 comments:

  Nilai, Norma dan Etika dalam Komunikasi Antar Pribadi KATA PENGANTAR          Puji syukur kehadirat Allah SWT yang saat ini ma...