Thursday, November 14, 2019

MAKALAH TRILOGI PROFESI KONSELING


MAKALAH TRILOGI PROFESI KONSELING
“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kode Etik Konseling”

Dosen pengampu : Siti Zahra Bulantika, M.Pd.
Disusun oleh :
 kelompok 9 / BKI F







BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
T.A 2019/2020



 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini. Penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah Kode Etik Konselling.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi

Karena keterbatasan pengetahuan kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



                                                            Bandar Lampung, 27 oktober 2019


                                                                                                Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................... 1
C.     Tujuan.......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Trilogi Konseling......................................................................... 2
B.     Dasar Keilmuan........................................................................... 2
C.     Substansi Profesi......................................................................... 3
D.    Praktik profesi............................................................................. 4

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA






BAB I
 PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
    Pelayanan bimbingan konseling membantu individu menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungan.
         Bimbingan konseling sebagai profesi yang sedang berkembang di negara Indonesia, harus dapat merebut kepercayaan publik melalui peningkatan mutu unjuk kerja yang dilakukan oleh Konselor atau guru BK dalam bidang tugasnya. Masyarakat akan percaya bahwa layanan yang diperlukan itu hanya dapat diperoleh dari guru BK atau Konselor yang memiliki kompetensi dan keahlian yang terandalkan. Kepercayaan public inilah yang menjadi faktor kunci untuk mengokohkan identitas profesi. Kepercayaan ini dapat memberikan makna terhadap profesi dan memungkinkan anggota profesi akan menjalankan fungsinya di dalam cara-cara professional.
B.       Rumusan masalah
A.    Apa Trilogi konseling?
B.     Apa itu Komponen Dasar Keilmuan ?
C.     Apa itu Komponen Substansi Profesi ?
D.    Apa itu Komponen Praktik Profesi ?

C.      Tujuan
A.    Dapat mengetahui Apa itu Komponen Dasar Keilmuan
B.     Dapat mengetahui Apa itu Komponen Substansi Profesi
C.     Dapat mengetahui Apa itu Komponen Praktik Profesi


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Trilogi Konseling
Di awal abad ke-21 ini dunia pendidikan di Indonesia mulai memasuki era profesional. Hal ini ditandai dengan penegasan bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional” (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 39 Ayat 2), dan “profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi” (UU No.14 Tahun 2005 Pasal 1 Butir 4).






B.     Dasar Keilmuan
             Komponen dasar keilmuan menyiapkan calon konselor landasan dan arah tentang wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap (WPKNS) berkenaan dengan profesi konseling. Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesional dalam bidang pelayanan konseling, karna konselor termasuk dalam kualifikasi pendidik. Hal ini sesuai dengan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pasal 1 angka 6 “pendidik adalah tenaga pendidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lainnya yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan konseling) dan memahami seluk beluk proses pembelajaran yang akan dijalani (klien) melalui modus pelayanan konseling. Dalam hal ini proses pelayanan konseling tidak lain adalah proses pembelajaran yang dijalani  oleh sasaran layanan (klien) bersama konselornya. Dalam arti demikian pulalah, konselor sebagai pendidik diberi lebel juga sebagai agen pembelajaran.

C.    Substansi Profesi
            Substansi profesi konseling memberikan modal tentang apa yang menjadi fokus dan obyek praktik spesifik profesi dengan bidang kajiannya, aspek kompetensi, sarana oprasional dan manajemen,kode etik sert landasan praktik oprasional pekerjaan konseling. Di atas kaidah-kaidah ilmu pendidikan itu konselor membangun substansi profesi konseling yang meliputi obyek praktis spesifik profesi konseling, teori konseling, pendekatan konseling, teknik konseling, prosedur konseling, asas - asas konseling, prinsip - prinsip konseling dan teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi konseling, serta kaidah – kaidah pendukung yang diambil dari bidang keilmuan lain yaitu psikologi, budaya dan sebagainya. Semua substansi tersebut sebgai modus pelayanan konseling yang haruss dikuasai yang harus dikuasai oleh konselor profesional. Obyek praktis spesifik yang menjadi fokus pelayanan konseling adalah kehidupan efektif ssehari – hari (KES). Dalam hal ini, sasaran pelayanan konseling adalah adalah kondisi individu KES yang dikehendaki untuk dikembaangkan dan kondisi kehidupan efektif sehari – hari yang terganggu (KES-T). Dengan demikian, pelayanan konseling pada dasarnya adalah upaya pelayanan dalam pengembangan KES dan penanganan KES-T.
            Berkenaan dengan teori konseling, pendekatan konseling, teknik konseling, prinsip - prinsip konseling dan teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi konseling, serta kaidah - kaidah pendukung yang diambil dari bidang keilmuan yaitu psikologi, budaya dalam konseling, konselor wajib menguasai berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukungnya dengan landasan teori, acuan praksis, standar prosedur operasional pelayanan konseling, serta implementasinya dalam praktik konseling. Pendekatan dan teknologi, pengelolaan dan evaluasi pelayanan itu perlu didukung oleh kaidah - kaidah keilmuan dan teknologi seperti psikologi, sosiologi, antropologi, teknologi dan informasi komunikasi sebagai alat untuk lebih bertepatguna dan berdayaguna dalam pelayanan konseling.

D.    Praktik Profesi
Praktik pelayanan konseling merupakan realisasi pelaksanaan pelayanan profesi konseling setelah kedua komponen profesi (dasar keilmuan dan substansi profesi) dikuasai. Praktik konseling terhadap sasaran pelayanan merupakan puncak dari keberadaan bidang konseling dalam setting pendidikan formal, pendidikan nonformal, keluarga, instansi negri maupun swasta, dunia usaha / industri, organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan, maupun praktik pribadi (privat). Mutu pelayanan konseling diukur dari penampilan (untuk kerja, kinerja, performance) praktik pelayanan konseling oleh konselor terhadap sasaran layanan. Pada setting satuan pendidikan, misalnya, mutu kinerja konselor di sekolah/madrasah dihitung dari penampilannya dalam praktik pelayanan konseling terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
Memperhatikan ketiga komponen trilogi profesi tersebut, dapatlah dikatakan bahwa suatu "profesi konseling" tanpa dasar keilmuan yang tepat akan mewujudkan kegiatan "profesional konselor" yang tanpa arah bahkan malpraktik , tanpa substansi profesi, suatu "profesi konseling" dipertanyakan isi dan manfaatnya; dan tanpa praktik profesi, maka "profesi konseling" menjadi tidak terwujud, dipertanyakan eksistensinya dan tenaga "profesional konselor" tidak berarti apa - apa bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Ini berarti profesi konseling menjadi tidak bermartabat dan tidak dipercaya oleh masyarakat. Dalam kaitan itu semua, ketiga komponen Trilogi profesi merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, ketiganya merupakan kesatuan, dan dipelajari dalam program pendidikan sarjana dan pendidikan profesi konselor untuk mewujudkan kemartabatan dan public trust profesi konseling dinegara kita tercinta Indonesia.
Kemartabatan profesi konseling, meliputi kondisi :
1.      Pelayanan Bermanfaat (Helpful Services)
Yaitu pelayanan profesional yang diselenggarakan haruslah benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan secara luas. Upaya pelayanan yang diaplikasikan oleh para pemegang suatu profesi, apalagi profesi yang bersifat formal dan diselenggarakan berdasarkan perundangan seperti profesi pendidik harus bermanfaat. Oleh karena itu, upaya pelayanan konseling tidak boleh sia-sia atau terselenggara dengan cara-cara yang salah (malpraktik), melainkan terlaksana dengan manfaat yang setinggi-tingginya bagi sasaran pelayanan dan pihak- pihak lain yang terkait. Kebermanfaatan pelayanan konseling yang diharapkan hendaknya menjadi kenyataan mengiringi motto bahwa "konseling di sekolah kemantapan, di luar sekolah sigap, dan di mana- mana siap”. Kemantapan, kesigapan dan kesiapan itu mengisyaratkan akan diraihnya hasil dengan kebermanfaatan yang tinggi sehingga pelayanan konseling yang dilakukan oleh konselor baik di sekolah, di luar sekolah, dan dimana-mana konseling dan kesiapan itu dilaksanakan diminati dan dicari oleh setiap individu yang membutuhkan. Kebermanfaatan hasil pelayanan konseling berupa perilaku kehidupan keseharian yang efektif berdasarkan norma- norma yang berlaku. Hasil pelayanan konseling adalah perilaku positif yang terstruktur dalam kehidupan yaitu hidup yang benar- benar hidup penuh makna adalah hidup yang berkehidupan, dan hidup yang berkehidupan itu dipenuhi oleh perilaku yang berlangsung sehari-hari, sepanjang kehidupan atau sepanjang hayat. Perilaku yang dimaksudkan itu bukanlah perilaku sembarang gerak, tanpa arah dan tanpa makna, melainkan perilaku individu yang jelas kandungan ranahnya (jasmaniah-rohaniah. individual-sosial, material-spiritual, lokal-global, dunia-akhirat dan zona kehidupan kefitrahan, keindividualan, kesosialan. kesusilaan, keberagamaan), serta dengan suasana kehidupan yang positif (rasa aman, aspirasi, kompetensi, semangat, dan kesempatan). Sesuai dengan arah dan etika dasar konseling, perilaku individu yang diharapkan sebagai hasil pelayanan konseling adalah perilaku yang mengandung kegiatan yang benar-benar bisa dilaksanakan untuk  menyokong terselenggaranya kehidupan efektif keseharian dengan kemandirian dan pengendalian diri yang mantap serta pencapaian perkembangan optimal dan kebahagiaan dalam kehidupan pada diri individu yang menjadi sasaran pelayanan konseling.

2. Pelaksana Bermandat (implementers signed up)
Yaitu pelayanan profesional konseling diselenggarakan oleh petugas atau pelaksana yang bermandat. Mandat konselor secara resmi ditandai oleh ketentuan bahwa yang menjalankan profesi konseling adalah pemegang ijazah program Pendidikan Profesi Konselor yang legal dari perguruan tinggi dan terakreditasi. Setiap orang yang menjalankan profesi konseling hendaknya bermandat yaitu pemegang gelar profesi konselor yang berpendidikan minimal sarjana pendidikan bidang bimbingan dan konseling dan berpendidikan profesi konselor. Sesuai dengan sifatnya yang profesional itu, maka pelayanan konseling harus dilakukan oleh tenaga yang benar-benar dipercaya untuk menghasilkan tindakan dan produk produk pelayanan dalam mutu yang tinggi. Program pendidikan sarjana dan pendidikan profesi yang terpadu dan berkesinambungan merupakan sarana dasar dan esensial untuk menyiapkan pelaksana bermandat. Lulusan pendidikan profesi dalam hal ini pendidikan profesi konselor diharapkan benar-benar menjadi tenaga profesional handal yang layak memperoleh kualifikasi bermandat, baik dalam arti akademik, kompetensi, maupun posisi pekerjaannya. Jika persyaratan kualifikasi akademik bagi pelaksanaan pelayanan konseling baik di sekolah, di luar sekolah dan dimana-mana dipenuhi, maka kemartabatan profesi konseling tidak diragukan atau dipercaya oleh berbagai pihak yang terkait dengan pelayanan profesi konseling. Jika sampai terjadi keraguan atau tidak dipercaya oleh berbagai pihak yang terkait dengan pelayanan profesi konseling, khususnya terkait de kemungkinan terjadinya penipuan dan kondisi malpraktik yang secara langsung merugikan sasaran pengguna layanan. Kondisi malpraktik ini sangat fatal dan membahayakan terhadap berkembangnya profesi konseling itu sendiri.

3. Pengakuan yang Sehat (healthy recognition)
Yaitu pelayanan profesional konseling diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Pengakuan yang dikatakan penuh atau mantap atau  bahkan sempurna adalah apabila profesi konseling telah dibuatkan undang-undangnya tersendiri oleh Pemerintah, khususnya untuk profesi konseling itu sendiri, seperti dokter misalnya atau di seperti di negara Amerika Serikat dan negara-negara lain. Kenyataannya posisi resmi konseling di Indonesia masih ada dalam ayat Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidi kan Nasional dan sejumlah aturan pelaksanaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Pendidikan dan Kebudayaan). Namun demikian, kita patut untuk mensyukuri dan menjadikan titik tolak yang luar biasa bagi upaya peningkatan kemartabatan profesi konseling dan hasil pelayanan serta keterandalan para pelaksana pelayanan konseling. Dengan manfaat yang tinggi dan dilaksanakan oleh pelaksana yang bermandat, pemerintah dan masyarakat tidak ragu-ragu mengakui dan memanfaatkan pelayanan konseling. Pengakuan ini terus mendorong perlunya tenaga profesional yang secara khusus dipersiapkan Peraturan perundang-undangan telah secara eksplisit menyatakan pentingnya keprofesionalan konselor, yang selanjutnya tentunya disertai pengakuan yang sehat atas lulusan pendidikan profesi konseling dan pelayanan yang mereka lakukan. Demikian juga masyarakat diharapkan memberikan pengakuan secara sehat dan terbuka melalui pemanfaatan dan penghargaan yang tinggi atas untuk menyelenggarakan layanan konscling. profesi konselor. Ketiga hal tersebut dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan menjadikan profesi konseling menjadi profesi yang bermartabat. Konseling scbagai suatu profesi yang sedang berkembang, para anggota profesi konseling harus berusaha memenuhi standar profesi konselor agar konseling dapat merebut kepercayaan publik (public trust) melalui peningkatan kinerja konselor dalam pelayanan konseling bermartabat. Kekuatan eksistensi suatu profesi bergantung kepada public trust (Brigg &Blocher, 1986). Masyarakat percaya bahwa layanan diperlukan dan hanya dapat diperoleh dari konselor yang memiliki kompetensI dan Keanan yang terandalkan untuk memberikan pelayanan konseling. Public trust akan mempengaruhi konsep profesi dan memungkinkan anggota profesi berfungsi denga cara-cara profesional. Public trust akan melanggengkan profesi konseling, karena dalam public trust terkandung keyakinan publik bahwa profesi dan para anggotanya berada dalam kondisi:
a)      memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi.
b)      Memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik.
c)      anggota profesi dimotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara terbaik, dan memiliki komitmen untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi dan finansial.




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Konselor dalam menjalankan profesi konseling harus benar-benar dipersiakan dan dibina dengan sebaik-baiknya, dalam hal ini melalui pendidikan profesi dan sarana pembinaan lainnyaa, sehingga menjadi profesi yang benar-benar bermartabat. Konselor harus dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk spektrum suatu profesi konselor yang dapat digambarkan dalam bentuk trilogi profesi.
Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesional dalam bidang pelayanan konseling, karna konselor termasuk dalam kualifikasi pendidik. Substansi profesi konseling memberikan modal tentang apa yang menjadi fokus dan obyek praktik spesifik profesi dengan bidang kajiannya, aspek kompetensi, sarana oprasional dan manajemen,kode etik sert landasan praktik oprasional pekerjaan konseling. Praktik pelayanan konseling merupakan realisasi pelaksanaan pelayanan profesi konseling setelah kedua komponen profesi (dasar keilmuan dan substansi profesi) dikuasai.



DAFTAR PUSTAKA

e-jurnal,Astawa, I Made Olas, Profesi Bimbingan dan Konseling Yang Bermartabat.
Prof. Dr. Drs. Mungin Eddy Wibowo.2018.profesi konseling Abad 21.UNES PERS. Semarang

Monday, November 11, 2019

MAKALAH KARAKTERISTIK KLIEN



Kelompok : 7
MAKALAH KONSELING KELOMPOK
KARAKTERISTIK KLIEN
MATA KULIAH KONSELING INDIVIDU
Dosen Pengampu:

NOFFIYANTI S. Sos, MA

Disusun oleh:
Ismail                                      1841040268
Septiana Suryamita Sukarti     1841040307
Nabila Sari                              1841040297

  



PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TA. 2019/1441 H


 

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum
            Puji syukur atas kehadiran Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayahnya lah kami para pemakalah dapat menyelesaikan tugas makalah kami dengan tepat waktu ya itu makalah yang berjudul Karakteristik Klien . Dan solawat beserta salam tak lupa kita sanjung agungkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW. Yang kita nanti-nantikan safaatnya di yaumul kelak .
            Dalam makalah ini kami membahas tentang Karakteristik Klien untuk memenuhi tugas matakuliah komunikasi konseling. Semoga makalah kami ini dapat bermanfaat bagi para pendengar dan pembaca. Namun kami masih menyadari bahwasanya makalah kami masih terdapat banyak kekurangan oleh karena itu kami masih mengharapan kritik dan saran yang membangun agar dapat kami jadikan pelajaran di kedepanya karena hakikinya manusia tidak ada yang sempurna.
            Dan tak lupa kami ucapkan terimakasih sebesar-besarnya terhadap rekan-rekan yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini dan ucapan terima kasih pula terhadap Ibu Noffiyanti yang telah membimbing, dan memberikan ilmunya terhadap kami semuah khususnya pada mata kuliah komunikasi konseling. Akhir kata dari kami.
Wasalamualaikum.

Bandar Lampung, 30 September 2019          


                        Penulis





DAFTAR ISI

COVER i
KATA PENGANTARii
DAFTAR ISIiii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang1
B.     Rumusan Masalah1
C.     Tujuan1

BAB II PEMBAHASAN
A. Memahami Klien2
B. Aneka Ragam Klien 6
C. Peranan Negosiasi dalam Konseling.. 11

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.16
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Semua individu yang diberi bantuan profesional oleh seorangkonselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain, dinamakan klien. Ada klien yang datang atas kemauan sendiri, karena diamembutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatukekurangan atau masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Akantetapi ada pula individu yang tidak sadar akan masalah yang dialaminya,karena kurangnya kesadaran diri. Dia mungkin dikirim kepada konseloroleh orang tua atau gurunya. Namun secara umum kalau klien sudah sadar akan diri dan masalahnya maka dia mempunyai harapan terhadapkonselor dan proses konseling yaitu supaya dia turnbuh, berkembang,produktif, kreatif, dan mandiri.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah memahami klien dalam konseling individu?
2.      Bagaimanakah keanekaragaman klien dalam konseling individu?
3.      Bagaimanakah peranan negosiasi dalam konseling?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui cara memahami klien dalam konseling individu.
2.      Untuk mengetahui aneka ragam klien dalam konseling individu.
3.      Untuk memahami peranan negosiasi dalam konseling.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Memahami Klien
Semua individu yang diberi bantuan profesional oleh seorangkonselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain, dinamakan klien. Ada klien yang datang atas kemauan sendiri, karena dia membutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Akan tetapi ada pula individu yang tidak sadar akan masalah yang dialaminya, karena kurangnya kesadaran diri. Dia mungkin dikirim kepada konselor oleh orang tua atau gurunya. Namun secara umum kalau klien sudah sadar akan diri dan masalahnya maka dia mempunyai harapan terhadap konselor dan proses konseling yaitu supaya dia turnbuh, berkembang, produktif, kreatif, dan mandiri. Harapan, kebutuhan, dan latar belakang klien akan menentukan terhadap keberhasilan proses konseling. Shertzer and Stone (1987) mengemukakan bahwa keberhasilan dan kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal yaitu: (1) kepribadian klien; (2) harapan klien, dan; (3) pengalaman/pendidikan klien.

1.      Kepribadian Klicn
Kepribadian klien cukup menentukan keberhasilan proseskonseling. Aspek-aspek kepribadian klien adalah sikap, emosi, intelektual, motivasi, dan sebagainya. Seorang klien yang cemas akan tampak pada perilakunya dihadapan konselor. Seorang konselor yang efektif akan mengungkap perasaan-perasaan cemas klien semaksimal mungkin dengan cara menggali atau eksplorasi sehingga keluar dengan leluasa bahkan mungkin diiringi oleh air mata klien. Jika perasaan-perasaan klien sudah dikeluarkan dengan leluasa baik secara verbal maupu dalam bentuk perilaku nonverbal, dengan jujur, maka kecemasan klien akan menurun, dia merasa lega. Bila keadaan ini terjadi berarti jiwa klien sudah tenang dan pikirannya jadi jernih. Pada tuasi seperti ini konselor akan menemukan intelektual klien. TerutamaJika konselor meminta padanya rencana, ide, tanggapan, pikiran, dan sebagainya. Akan tetapi dalam keadaan tegang, stres, kesulitan, marah, sedih, atau keadaan emosional lainnya yang negatif, sudah tentu klien akan gelap pikirannya. Jadi jika konselor ingin mengetahui tanggapan, tujuan maksud dan sebagainya, sebaiknya setelah semua perasaan negatif tadi telah dikeluarkan, dinyatakan secara verbal oleh klien, juga dapat diamati melalui bahasa tubuh. Sebagaimana konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Semua itu membentuk kepribadiannya. Saat berhadapan dengan konselor didalam proses konseling, maka latar belakang tersebut akan muncul baik dengan sengaja dimunculkan maupun muncul dengan sendirinya, seperti sikap. Ada klien yang bersikap curiga terhadap konselor sehingga tidak mau terbuka dalam pembicaraan, ada lagi klien emosional, marah, dan diam menyerang konselor dengan kata-kata. Dibalik itu ada mengangguk-angguk saja dan sedikit sekali kalimat yang keluar dari mulutnya. Ada juga klien yang acuh tak acuh alias cuek, tapi akan ditemukan pula yang angkuh, manja, dan tergantung pada konselor, dan banyak pula yang menolak. Yang saja, Ragam keadaan klien bukan berarti membuat konselor putus asa, akan tetapi seharusnya belajar lebih banyak bagaimana cara mengantisipasinya. Tentu tidak cukup hanya dengan penguasaan teknik konseling saja, akan tetapi harus pula memiliki kepribadian membimbing, dan wawasan tentang manusia yang luas. Salah satu aspek penting lag dalam diri klien adalah harapannya. Harapan ini mempengaruhi proses konseling serta persepsi terhadap konselor.

2.      Harapan Klien
Mengandung makna adanya kebutuhan yang ingin terpenuhiproses konseling. Pada umumnya harapan klien terhadap proses konseling adalah untuk memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jawaban atau jalan keluar dari persoalan yang dialami, dan mencari upaya bagaimana dirinya supaya lebih baik, lebih berkembang. Shertzer dan Stone (1980) mengemukakan bahwa secara umumharapan klien atau counselees adalah agar proses konseling dapatmenghasilkan pemecahan (solusi) persoalan pribadi mereka. Termasukdidalam permasalahan pribadi itu adalah: dapat menurunkan atau menghilangkan stres, memberikan kemampuan untuk bisa mengadakan pilihan, menjadikan dirinya populer dari sebelumnya, menjadikan melalui hubungan dengan orang lain lebih baik dan bermakna, agar bisa diterima di perguruan tinggi bermutu, mendapat beasiswa, atau dana bantuan dari perusahaan. Disamping itu harapan klien adalah agar dapat mengatasi kesulitan dan kegagalan dalam pelajaran, agar konseling dapat memberikan jaminan supaya dia bisa mendapat pekerjaan dan naik pangkat, serta mendapatkan kedudukan atau karir makin baik. Sering terjadi bahwa klien menaruh harapan terlalu tinggi terhadap proses konseling, sedangkan kenyataannya konseling tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Terjadinya diskrepansi antara harapan dan kenyataan, mungkin dapat membuat klien kecewa, sehingga bisa membuat dia putus hubungan konseling selanjutnya (drop out DO) dimana klien tidak datang lagi pada proses konseling berikutnya. Seorang konselor sebaiknya mengetahui dengan pasti apa yang menjadi latarbelakang harapan seorang klien. Mungkin belum tentu harapan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Sebab klien itu muncul dari lingkungan sosial budaya dan sosial-psikologis tertentu. Harapan untuk melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran, mungkin berasal dari obsesi orang tua yang menginginkan anaknya menjadi dokter. Sebab ia sendiri dulu pernah bercita-cita menjadi dokter namun tidak kesampaian. Jika harapan di luar diri klien yang mendorong cita-cita dan harapannya, mungkin kesadaran dan keyakinan akan harapan tersebut tidak begitu bagus. Karena itu perlu digali sejauh mungkin apa yang ada dibelakang harapan seorang klien. Disamping latar belakang, perlu pula dikaji bersama klien tentang harapan-harapan klien apakah akan tercapai atau tidak, mengingat berbagai faktor seperti latar belakang sosial, keadaan diri klien, kondisi jalannya proses konseling, dan kondisi realitas konselor sendiri. Sebagai contoh mungkinkah harapan klien terhadap bantuan optimal konselor akan terlaksana manakala klien sendiri masih menyimpan rahasia, belum terbuka, dan masih meragukan kemampuan konselor? Tanpa keterbukaan dan keterlibatan klien di proses konseling tidak mungkin terjadi diskusi mendalam mengenai harapan-harapan dan cita-cita klien. Dengan makin mendalamnya pembicaraan tersebut, besarkemungkinan semua aspek tentang harapan dan cita-cita klien bisa diketahui dan dipertimbangkan oleh klien secara matang, realistis, dan obyektif. Akhirnya klien dapat menjawab sendiri apakah harapannya tersebut logis, realistis, dan mungkin akan tercapai. Faktor harapan konselor kadang-kadang dapat pula mengganggu jalannya proses konseling. Terutama jika harapan tersebut terkesan dipaksakan. Hal ini dapat membuat klien menjadi tidak kreatif, tergantung (dependent), dan mengacaukan konsentrasinya. Akibatnya klien tidak mampu menggali dirinya dan terjadi konflik dalam diri klien antara harapan konselor dan harapan dirinya bertentangan. Konflik harapan bisa juga terjadi antara klien dengan orang tuanya, klien dengan atasan, dan sebagainya.

3.      Pengalaman dan Pendidikan Klien
Hal ini amat menentukan atas keberhasilan proses konseling.Sebab dengan pengalaman dan pendidikan tersebut, klien akan mudah menggali dirinya sehingga persoalannya makin jelas dan upaya pemecahannya makin terarah. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman dalam konseling, wawancara,berkomunikasi pidato, ceramah, mengajar/melatih, keterbukaan, dalam demokratis di keluarga/kantor/sekolah, dan sebagainya. Berdiskusi, suasana khususnya tentang pengalaman konseling dimaksudkan sebagai pengalaman dalam membicarakan potensi dan masalah diri terhadap ahli konseling, orang tua, tokoh ulama, dan sebagainya. Jika pengalaman khusus ini sudah sering dilakukan berhasil, maka proses konseling saat ini akan berhasil pula. Tapi adakalanya terjadi klien kecanduan bicara pada konselor atau siapa saja yang dianggapnya orang-orang yang dapat mendengarkannya. Kecanduan bicara dimaksudkan kesenangan untuk membicarakan dirinya dan lingkungannya, tanpa adanya keinginan untuk berubah. Motif klien ini adalah senang berbicara kemana saja tanpa ada kemauan untuk membuat rencana dan action. Jika bertemu klien yang demikian sebaiknya proses konseling diputus saja. Pengalaman dan pendidikan yang baik pada umumnya memudahkan jalannya proses konseling. Seorang klien yangberpengalaman dalam berdiskusi, pidato, ceramah, dan berdialog denganorang lain, biasanya lebih mudah mengungkapkan perasaan, dan lebih mudah kalimat-kalimatnya untuk dipahami, serta arah pembicaraannya lebih jelas. Konselor tinggal mengarahkan dengan teknik-teknik yang lebih bervariasi dan menghargai pandangan-pandangannya. Pengalaman menunjukkan bahwa makin rendah taraf pendidikan dan kurangnya pengalaman berkomunikasi, makin sulit proses konseling dilakukan oleh konselor. Murid-murid TK, SD, bahkan SLTP, adalah sebagai contoh. Jika memberikan bimbingan di TK-SD diperlukan beberapa kemampuan komunikasi, bahasa, dan sikap yang sesuai terhadap murid-murid itu agar proses konseling berjalan lancar dan tujuan lebih cepat tercapai. Disamping itu kebanyakan anak-anak sulit menyatakan perasaanya kepada orang yang belum dikenal dekat, disebabkan dia malu, takut, curiga, konselor/pembimbing di TK-SD haruslah yang ramah, kocak, menyayangi, dan menarik bagi anak-anak dan sebagainya. Karena itu sikap dan kepribadian. Namun masalah lingkungan sosial budaya murid seperti keluarga dan sekolah, tetap menentukan pembentukan pengalaman berkomunikasi dan kemajuan pendidikan mereka. Keluarga yang demokratis, mendorong, ceria, dan sering diskusi, akan membuat anak-berkembang kemampuan berbicara, berkomunikasi terhadap orang lain. Anak-anak akan lebih mantap dan anaknya berdialog, atau percaya diri, kuat mental, dan tenang emosionalnya. Sebaliknya keluarga yang broken home, orang tua banyak mengalami stres, suka marah, menekan anak, maka anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, emosional tidak stabil, cepat marah, dan kurang bersahabat. Kemampuan berkomunikasi agak kurang, bahkan termasuk jelek, dan bisa pula agak gugup dan gagap dala berbicara. Faktor sekolah dapat pula menunjang perkembangan atau kemampuan anak untuk berkomunikasi. Biasanya guru yang baik akan menciptakan kelasnya begitu kondusif untuk kebebasan berpendapat dan berpikir kreatif.

B. Aneka Ragam Klien
Setelah kita memahami klien dengan latar belakangnya, makaselanjutnya kita aka memahami pula aneka ragam atau jenis klien. Jikaseorang klien datang kepada konselor tentu ada maksud yang terkandungdi dalam hatinya. Namun banyak pula klien yang datang tanpa maksudyang jelas atau mungkin pula kehadirannya karena terpaksa oleh ajakanatau suruhan orang lain.Berikut ini akan diuraikan berbagai jenis atau ragam klienyangakan dihadapi konselor.

1. Klien Sukarela
Klien sukarela artinya klien yang hadir di ruang konseling atas kesadaran sendiri, berhubung ada maksud dan tujuannya. Mungkin ia inginmemperoleh informasi, menginginkan penjelasan tentang persoalan yangdihadapinya, tentang karir dan lanjutan studi, dan sebagainya. Secara umum dapat kita kenali ciri-ciri klien sukarela sebagai berikut:
a.       Hadir atas kehendak sendiri.
b.      Segera dapat menyesuaikan diri dengan konselor.
c.       Mudah terbuka, seperti segera mengatakan persoalannya.
d.      Bersungguh-sungguh mengikuti proses konseling.
e.       Berusaha mengemukakakn sesuatu dengan jelas.
f.       Sikap bersahabat, mengharapkan bantuan.
g.      Bersedia mengungkap rahasia walaupun menyakitkan.
Bagi para konselor terutama konselor pemula, amat diinginkan mendapat klien sukarela. Namun walaupun klien sudah datang dengan sukarela jika konselor kurang terampil, kurang bersahabat, maka klien tersebut akan kecewa dan mungkin drop out (DO). Karena itu konselor perlu mempelajari kliennya dengan memperhatikan sikap, emosi, dan bahasa nonverbal. Konselor pemula sering merasa bahwa banyak bicara adalah yang terbaik. Padahal jika hal itu terjadi pada klien yang memerlukan pemikiran rasional dan pragmatis, konselor pemula seperti itu amat membosankan klien, yang akan berakibat DO.

2. Klien Terpaksa
Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya di ruang konseling bukan atas keinginannya sendiri. Dia datang atas dorongan orang tua, wali kelas, teman, dan sebagainya. Mungkin klien tadi diantar atau disuruh menghadap konselor karena dianggap perilakunya kurang sesuai dengan aturan lingkungan keluarga atau sekolah. Seorang guru SD menghadap saya (konselor) dan mengatakanbahwa dia ingin menghadapkan seorang muridnya yang nakal, sukamengganggu teman wanita, juga guru wanita. Sudah beberapa kali ditegur dan diberi hukuman, tapi hampir tidak ada perubahan perilaku. Dari wajah ibu tadi tergambar kesungguhannya serta menginginkan resep yang tepat untuk anak tersebut. Dari kasus di atas ada dua kemungkinan: (1) murid bermasalah; atau (2) guru itu sendiri yang bermasalah. Sebab sering terjadi bahwa guru mengajar murid hanyalah bersifat rutin dan monoton. hal ini bagi sebagian murid amatlah membosankan. Jarang guru mengajar dengan menggunakan sentuhan-sentuhan emosional. Unsur pedagogis begitu minim dalam pengajaran. Sifat pengajaran amat instruksional, rasional, dan sedikit sekali ada hubungan pribadi guru-siswa. Sckolah menjadi tempat yang tidak menarik bagi sebagian murid, karena mereka tidak bisa berkembang optimal, banyak diatur, dihukum, dan sebagainya. Guru menjadi perkembangan dan juga mengenai bimbingan dan konseling. Sangat dominan, dan kurang memahami psikologi. Kembali pada klien terpaksa, banyak karakteristiknya yang perlu diketahui:
1.      Bersifat tertutup;
2.      Enggan berbicara;
3.      Curiga terhadap konselor;
4.      Kurang bersahabat; dan
5.      Menolak secara halus bantuan konselor.
Untuk menghadapi klien terpaksa, konselor tidak boleh memaksa untuk memberi bantuan. hal ini akan lebih menjauhkan klien dari proses konseling. Salah satu strategi adalah menjelaskan secara bijak apa yang dimaksud konseling. Sebab kebanyakan klien enggan atau tidak mau mendatangi konseling karena nama baik bimbingan dan konseling telah tercemar akibat ulah "konselor" di lapangan yang tidak profesional. Mereka memandang bahwa konseling adalah: (1) proses nasehat supaya klien menjadi baik; (2) konseling hanya bagi kasus-kasus orang yang mengalami masalah atau kesulitan penyesuaian diri semisal orang gila. Misalnya jika nyata seorang siswa nakal, mencuri, memukul teman, maka anak itu harus diberi bimbingan. Namun jika ada anak yang berprestasi dalam seni, belajar, olahraga, dan sebagainya, mereka itu tidak perlu dibimbing. demikian juga anak-anak yang baik kelakuannya, dianggap tidak perlu dibimbing. Padahal bimbingan dan konseling harus diberikan kepada semua orang untuk perkembangan potensinya. Jadi oukan hanya bagi yang bermasalah.

3. Klien Enggan (Reluctant Client)
Salah satu bentuk klien enggan adalah yang banyak bicara. Padaprinsipnya klien seperti ini enggan untuk dibantu. Dia hanya senang untuk berbincang-bincang dengan konselor, tanpa ingin menyelesaikan masalahnya. Disamping itu ada lagi yang diam saja. Klien ini diam karena tidak suka diberi bantuan oleh konselor. Akan tetapi dihadirkan oleh orang tua atau wali kelas ke ruang konseling. Ketidaksukaan klien ini disebabkan dia malu datang kepada konselor. Sebab menurut klien ini tidak pantas dia diperlakukan oleh konselor karena dia tidak termasuk orang yang nakal atau gila. Upaya yang bisa dilakukan menghadapi klien seperti ini adalah: (1) menyadarkan akan kekeliruannya; (2) memberi kesempatan agar dia dibimbing oleh orang lain saja, atau mencari lawan bicara yang lain.

4. Klicn Bermusuhan/Menentang
Klien terpaksa yang bermasalah cukup serius, bisa menjelma menjadi klien bermusuhan. Sifat-sifatnya adalah: (1) tertutup; (2) menentang; (3) bermusuhan dan; (4) menolak secara terbuka. Sifat tertutup lazim terjadi pada klien enggan dan mencentang. Karena itu konselor yang efektif harus menggunakan strategi yang ramah, menyapa, dan memperlakukan sebaik mungkin tapi tegas, dan yang penting adalah negosiasi dengan dia. Inti negosiasi adalah mengizinkan dia keluar atau tidak mengikuti konscling, namun memberikan waktu kira-kira 10-15 menit untuk menjelaskan apa yang dimaksud konseling. Namun masalah yang besar adalah kemampuan konselor menghadapi klien bermusuhan itu. Sebab adakalanya scbagai manusia sering konselor terutama pemula, kurang stabil emosionalnya, cepat bergejolak, dan mungkin akan hilang kesabaran menghadapi klien yang menentang.
Cara-cara yang efektif menghadapi klien tersebut adalah:
a)      Ramah, bersahabat, dan empati.
b)      Toleransi terhadap perilaku klien yang nampak.
c)      Tingkatkan kesabaran, menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuaibahasa tubuh klien.
d)     Memahami keinginan klien yaitu tidak sudi dibimbing.
e)      Mengajak suatu negosiasi atau kontrak waktu dan penjelasan tentangkonseling.
5. Klien Krisis
Yang dimaksudkan klien krisis adalah jika seorang menghadapi musibah seperti kematian (orang tua, pacar/isteri, anak yang dicintai), kebakaran rumah, diperkosa, dan sebagainya yang dihadapkan pada konselor untuk diberi bantuan agar dia menjadi stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru (musibah tersebut). Beberapa gejala perilaku klien krisis adalah: (1) tertutup, atau menutup diri dari dunia luar; (2) amat emosional, tak berdaya, ada yang histeri; (3) kurang mampu berpikir rasional; (4) tidak mampu mengurus diri dan keluarga; (5) membutuhkan orang yang amat dipercayai.
Lindeman (1944) melukiskan karakteristik individu yang mengalami duka cita yang mendalam sebagai berikut:
1)      Keadaan fisik yang menderita, sesak, tak bisa tidur, kehilangan nafsumakan, pencernaan terganggu, lemah, sesak nafas.
2)      Perasaan hampa, tegang, kelelahan (exhaustion), hilang rasakehangatan, dan menjauh dari orang banyak.
3)      Kadang-kadang keasyikan dengan khayal kematian.
4)      Kadang-kadang timbul perasaan bersalah terhadap kejadian ataukegagalan yang dialami, atau menyalahkan diri secara berlebihan.
5)      Berubah pola-pola kegiatan, gelisah, tanpa arah, mencari aktivitas tapitanpa motivasi untuk meneruskannya.



Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan mendalam (grief) adalah:
1)      Agar klien dapat menerima kesedihannya secara wajar.
2)      Agar klicn dapat mengekspresikan (mengungkapkan dengan bebas)segala rasa kesedihannya.
3)      Menghilangkan ingatan terhadap almarhum.
4)      Membentuk lagi lingkungan yang baru yang dapat melupakannyaterhadap almarhum.
5)      Membentuk relasi (kawan/sahabat) yang baru.
Menurut Brammer (1979) ada tiga langkah penting untuk membantu klien krisis: (1) tentukan terlebih dahulu kondisi krisis itu. seberapa parah keadaan itu. Konselor harus menentukan tipe bantuan yang amat dibutuhkan klien saat itu, berdasarkan penilaian awal tentang kondisi krisis klien; (2) tentukan sumber-sumber apa yang bisa membantu klien secepatnya misalnya saudara, teman, kelompok. Dan batuan apa yang dapat mereka berikan pada klien; (3) Bantuan dalam bentuk pertolongan langsung. Yaitu konselor memberikan peluang agar klien bisa menyalurkan perasaannya seperti perasaan takut, rasa bersalah, rasa marah. Konselor bisa memberikan bantuan psikologis dengan penyaluran dan penyadaran akan emosionalnya. Kemudian membawa klien ke alam nyata, kepada kondisi dan relasi yang baru.

C. Peranan Negosiasi dalam Konseling
Untuk menghadapi klien menentang, terpaksa, dan enggan perludiadakan negosiasi sebelum konseling yang sebenarnya. Beberapa faktoryang menyebabkan klien itu terpaksa, enggan dan menentang adalahsebagai akibat sistem organisasi seperti sekolah yang amat disiplin dantidak demokratis. Sebagai contoh banyak siswa yang didatangkan guruatau wali kelas secara paksa kepada pembimbing. Demikian jugapanggilan melalui surat yang dibawa oleh pembantu sekolah ke kelasdengan memanggil nama seorang siswapembimbing. Karena itu kita perlu menghindarkan pemanggilan siswa/idi kelas secara paksa yaitu: (a) melalui surat guru BK; (b) oleh wali kelas;(c) oleh pembantu sekolah dengan membawa surat guru BKuntuk menghadap guru.Cara-cara ini biasanya langsung memanggil siswa/i di dalamkelas. Cara-cara tersebut cukup riskan, karena siswa yang dipanggil akanmerasa malu, takut, dan selalu bertanya-tanya didalam dirinya, apagerangan kesalahn saya? Disamping itu, pandangan teman-teman di kelasagak sinis sebab dianggapnya siswa tersebut adalah anak yang bermasalah(pandangan negatif). Pandangan tersebut bersumber dari kondisi BKsendiri, khususnya guru-guru BK yang sering menjadikan BK sebagaiajang untuk menindas siswa, seperti memberi malu, mengancam, dansebagainya. Karena itu perlu dicarikan cara-cara yang lebih ramah,bersahabat, dan menghargai terhadap siswa/i.Salah satu cara yang dianggap lebih baik adalah melalui negosiasi.Istilah negosiasi dikutip dari dunia diplomatik yaitu untuk mempengaruhipihak lain agar dapat menerima suatu konsep, rencana, atau programsebagai goal dari negosiasi. Orang yang melakukan negosiasi disebutnegosiator. Istilah negosiasi sering disingkat menjadi "nego", seperti jugademonstrasi disingkat "demo". Beberapa negosiator unggul antara lain.Karakteristik KlienBapak Adam Malik (alm.) dan Bapak Ali Alatas, keduanya adalah mantanMenteri Luar Negeri.Dewasa ini pekerjaan negosiasi bukan hanya dilakukan oleh paradiplomat, akan tetapi merambah ke semua hubungan sosial, termasukdalam bidang pendidikan, khususnya pelaksanaan konseling danpengajaran.
Syarat-syarat untuk dapat melaksanakan negosiasi dengan baik,adalah sebagai berikut:
(1) Kecerdasan dan wawasan yang luas.
(2) Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai.
(3) Bersikap ramah, murah senyum, sopan, cermat, dan empati.
(4) Pemahaman yang memadai tentang subjek (individu) yang dihadapi,yaitu semua informasi penting tentang orang tersebut.
(5) Tidak membosankan, tidak memaksa, tidak menyimpulkan, dan tidakmengecewakan orang lain.



1. Negosiasi dalam Konseling
Negosiasi kita praktekkan di dalam rangka konseling, adalah upaya untuk "membujuk" agar calon klien kita merasa aman, senang, dan mau diajak bicara tentang dirinya. Hal ini untuk menghindarkan hambatan-hambatan administratif, psikologis, dan sosio-kultural. Jika klien sudahbersedia untuk melakukan dialog konseling maka kesempatan tersebut jangan diabaikan lagi. Lakukanlah konseling individual. Pertama: bentuklah hubungan konseling melalui keramahan, senyum, sikap empatik, terbuka, menghargai, bertanya terbuka, penuh perhatian, dan cepat memahami keadaan klien. Mulailah pembicaraanyang membuat klien senang berbicara, misalnya diawali kata "maaf" dan "Apakah mungkin kita dapat membicarakan bal-hal yang menurut Anda penting?" "Apakah Anda sudi meluangkan waktu untuk saya berbincang-bincang dengan Anda barang 5-10 menit?" atau pembicaraan dimulai dengan minat, bakat, dan kemampuan demikian juga hobi. Setelah negosiasi, konselor membuat perjanjian dengan klien, kapan dan di mana bisa berbicara lebih serius. Jadi kapan dan di mana bisa mengadakan hubungan konseling. Paling baik bagi seorang konselor adalah sejak awal sudah memiliki informasi tentang klien, terutama hal-halyang menyenangkan klien. Yang penting ciptakan hubungan konseling yang menggembirakan klien dan tidak langsung ke persoalan inti, kecuali jika dia yang memulai. Disamping agar klien dapat terbuka, maka hubungan konseling hendaklah bernuansa afektif, dimana konselor bersikap empati, dan mendorong klien agar terus berbicara tentang perasaannya. Kedua: tangkaplah isu penting seberapa mungkin yang bisa anda lakukan. Karena hal ini amat tergantung kepada kecerdasan konselor untuk memikirkan ungkapan-ungkapan verbal dan nonverbal mungkin mengandung isu/masalah mengenai dirinya, ataupun adanya potensi klien yang kurang berkembang schingga menjadi masalah baginya. Makin banyak klien berbicara mengenai dirinya yang kait-mengait dengan lingkungan, makin memungkinkan muncul isu tentang dirinya. Karena itu keterampilan bahasa/kalimat-kalimat/ucapan konselor yang membuat klien selalu berbicara mengeluarkan isi hati. Dalam situasi demikian konselor akan mudah menangkap isu-isu mengenai diri klicn. Ketiga: berbekal isu-isu tentang diri klien yang telah ditangkap, maka konselor bekerja dengan isu tersebut, artinya melakukan proses konseling yang sebenarnya yaitu membantu agar klien: (1) Menurunkan stresnya; (2) Mampu memahami diri dan masalahnya; (3) Mampu menyusun rencana atau ide-ide yang baik agar dia dapat mengatasi masalahnya sendiri. Keempat: klien menarik beberapa kesimpulan dengan bantuan konselor. Kemudian agar klien memberikan evaluasi mengenai jalannya proses konseling serta sikap dan kemampuan calon konselor dalam upaya memberikan bantuan. Akhirnya klien mengemukakan rencana/programnya. Selanjutnya janji untuk mengadakan pertemuan berikutnyadengan konselor, dengan tujuan untuk mengecek sejauh mana rencana klien sudah dilaksanakan.

2. Praktek Negosiasi
Untuk mempraktekkan upaya negosiasi dengan calon klien, khususnya para siswa/i, dapat ditempuh kegiatan-kegiatan berikut Pertama; "tandai" calon klien berdasarkan informasi yang ada. Kalau bisa dikaji data yang berkaitan dengan potensinya seperti keahlian, keterampilan, bakat khusus, hobi, dan sebagainya. Guna data seperti iniadalah untuk memudahkan pembicaraan tahap awal sehingga membuat klien gembira dan senang untuk berbicara mengenai dirinya. Kedua; amati calon klien saat dia santai di luar pelajaran. Misalnya dia sedang "ngobrol" dengan seorang teman atau sekelompok teman. Jika momen sudah dianggap tepat, mulailah mendekat dengan ramah dan baik, serta lakukanlah dialog seperti ini.
1.      Calon konselor (CK): "Maaf, boleh saya mengganggu sebentar"
2.      Para siswa (PS): "O, silahkan."
3.      CK: "Saya perkenalkan diri saya sebagai mahasiswa sedang praktek bimbingan dan koseling di sekolah ini."
4.      PS: "O, jadi apa yang Bapak inginkan dari kam?"
5.      CK: "Maaf, panggil saja saya kakak, dan jangan sungkan-sungkan terhadap saya. Sebenarnya saya ingin berhincang-bincang dengan sdr. D di tempat terpisah. Bagaimana D, apakah anda bersedia?"
6.      D: "Ada apa ya?" (agak ragu dan curiga)
7.      CK: "Tidak, hanya sekedar "ngobrol" ringan. Boleh kan?"
8.      D: " Baiklah, kalau begitupermisi teman-leman."
9.      CK: "Saya permisi juga."
Jika negosiasi bethasil diawal seperti contoh dialog di atas, makanegosiasi selanjutnya adalah dengan D, kapan dia bersedia untuk berbincang-bincang lebih jauh dengan dirinya, dalam arti proseskonseling. Pada nego kedua ini mungkin bisa dibuat appointment(perjanjian) hari, waktu, dan tempat sesuai dengan kcsediaan dan kebutuhan siswa tersebut.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua individu yang diberi bantuan profesional oleh seorangkonselor atas permintaan dia sendiri atau atas permintaan orang lain, dinamakan klien. Ada klien yang datang atas kemauan sendiri, karena dia membutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Setelah kita memahami klien dengan latar belakangnya, maka selanjutnya kita aka memahami pula aneka ragam atau jenis klien. Jikaseorang klien datang kepada konselor tentu ada maksud yang terkandungdi dalam hatinya.Untuk menghadapi klien menentang, terpaksa, dan enggan perludiadakan negosiasi sebelum konseling yang sebenarnya. Beberapa faktoryang menyebabkan klien itu terpaksa, enggan dan menentang adalahsebagai akibat sistem organisasi seperti sekolah yang amat disiplin dantidak demokratis. Sebagai contoh banyak siswa yang didatangkan guruatau wali kelas secara paksa kepada pembimbing.


DAFTAR PUSRTAKA

http://www.Kompasiana.com/seaful_arifin/5500ac27a333115311a4c/pendidikan-dan-latihan-calon-konselor diakses pada 07 November 2019
Wilis,S Soofyan.2019 Konseling Individu,Bandung: Alfabeta
Yusuf, Syamsu & Nurihsan, juntika. 2011.Landasan Bimbingan Dan Konseling.Bandung. Remaja Rosdakarya

  Nilai, Norma dan Etika dalam Komunikasi Antar Pribadi KATA PENGANTAR          Puji syukur kehadirat Allah SWT yang saat ini ma...