Friday, October 4, 2019

TAFSIR AYAT-AYAT YANG BERKENAAN DENGAN HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS


TAFSIR AYAT-AYAT YANG BERKENAAN DENGAN HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS
Dosen Pengampu :
Ilzami Mahmudah, S.Pd., M.Ag.




Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir

Disusun Oleh  :
KELOMPOK 4  (BKI E)
Nurul Meisita              (1841040317)
Radhita Indah Saputri            (1841040328)
Rona Nur Fadhilah     (1841040338)


BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TA. 2019/ 1441 H 




KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhir nanti.
Kami telah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Tafsir kami Ibu Ilzami Mahmudah, S.Pd., M.Ag. yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih.
                                                           
Bandar Lampung, Oktober 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.     Tujuan Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Manusia Sebagai Makhluk Religius.......................................... 3
B.     Konsep Manusia Sebagai Makhluk Religius...............................6

BAB III KESIMPULAN
a.       Kesimpulan........................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi.
Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Oleh karena fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk beribadah kepada Tuhan pun diperlukan suatu ilmu. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia dapat mengenal siapa Tuhannya. Dengan pendidikan pula manusia dapat mengerti bagaimana cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui sebuah pendidikan yang tepat, manusia akan menjadi makhluk yang dapat mengerti bagaimana seharusnya yang dilakukan sebagai seorang makhluk Tuhan. Manusia dapat mengembangkan pola pikirnya untuk dapat mempelajari tanda-tanda kebesaran Tuhan baik yang tersirat ataupun dengan jelas tersurat dalam lingkungan sehari-hari.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Saja Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Religious?
2.      Apa Konsep Manusia Sebagai Makhluk Religius?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Religious
2.      Untuk Mengetahui Konsep Manusia Sebagai Mahkluk Religius



BAB II
PEMBAHASAN

A.    MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS
Kata "religius" berasal dari kata "religi" yang berarti khidmat dalam pemujaan, sikap dalam hubungan dengan hal yang suci dan supra natural yang dengan sendirinya menuntut hormat dan khidmad (Shadaly, 1984: 278). Pengertian yang lebih singkat dikemukakan oleh Dojosantoso (1986: 3) bahwa religius adalah keterikatan manusia pada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. keterikatan manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan sikap manusia "religius" manusia religius dapat diartikan sebagai manusia yang berhati nurani serius, shaleh, teliti dalam pertimbangan batin (Mangunwijaya, 1982: 194).
Sedangkan istilah agama atau religion dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesucian, kesalahan, ketelitihan batin, religare yang berarti mengikatkan kembali, pengikatan bersama (Djamari, 1988: 8). Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurna-annya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.[1] Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan.[2]
Hal itu merupakan fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya. Menurut Noor Syam (2006: 97) wawasan religius mengandung makna bahwa sesungguhnya manusia mengerti sesuatu makna dan nilainya hanya berkat petunjuk ilahi atau dikataakan hidayah dari sang Maha Pencipta. Kesadaraan ini mengandung makna mendasar sebagai keyakinan untuk melakukan perintah Ilahi dan menjauhi laranganNya.
Adapun nilai religius menurut Suwondo (1994: 65) adalah:
1.         Keimantauhidan manusia terhadap Tuhan.
2.         Keteringatan manusia terhadap sifat Tuhan.
3.         Ketaatan manusia terhadap firman Tuhan.
4.         Kepasrahan manusia terhadap kekuasaan Tuhan.
Berbicara tentang agama terhadap kehidupan manusia memang cukup menarik, khususnya agama islam. Hal ini tidak terlepas dari tugas para nabi yang membimbing dan mengarahkan manusia kearah kebaikan yang hakiki dan juga para nabi sebagai figur konselor yang sangat mumpuni dalam memecahkan permasalahan (problem solving) yang berkaitan dengan jiwa manusia, agar manusia keluar dari tipu daya syaiton. Seperti tertuang dalam ayat berikut:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

(QS Al-Ashr ayat 1-3)
Emile Durkheim (1912) memaparkan dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen, yaitu :
1.       emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2.      sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3.      Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa atau Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4.      kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.[3]
Keempat komponen tersebut terjalin erat satu dengan yang lainnya menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat dalam diri manusia, sehingga manusia menjadi makhluk religi yang menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan.
            Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna pencitraannya yang berarti manusia mempunyai akal pikiran, perasaan dan emosi dan dapat mengaktualisasikan dirinya karena apa yang ia punya merupakan bekal dapat hidup di dunia dan akhirat dengan baik.[4]


B.     Konsep Manusia Sebagai Makhluk Religius
Sejak dulu manusia telah mencurahkan segenap perhatian dan usahanya untuk mengetahui dirinya dan telah banyak pula penelitian ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli di bidang psikologi dan kerohanian untuk memahami konsep dirinya namun ternyata manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu saja dari dirinya, manusia benar-benar tidak mengetahui eksistensi dirinya secara seutuhnya. Pada hakekatnya menurut Carrel (4:4), keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu sekurang-kurangnya disebabkan oleh tiga hal:
1)         Pembahasan tentang manusia agaknya terlambat dilakukan karena awalnya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
2)         Ciri akal manusia yang lebih cenderung tidak suka memikirkan hal-hal yang kompleks. Kalau menurut Bergson hal ini disebabkan oleh sifat akal kita, yang tidak mampu mengetahui hakekat hidup.
3)         Sifat masalah manusia itu sendiri yang multikompleks.[5]
Terkait dengan penjelasan di atas, kaum agamawan menjelaskan bahwa hal itu disebabkan karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi, sedangkan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh itu/urusan Allah, kecuali sedikit (QS. al-Isra, 17: 85)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
 Jadi jelas yang terbaik untuk mengenal siapa manusia adalah dengan merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya. Al-Qur’an adalah satu-satunya wahyu Ilahi yang paling dapat diandalkan dalam masalah ini.. Ada tiga kata yang digunakan al-Qur' an untuk menunjuk arti manusia, yaitu: insan atau ins dan al-nas atau unas; kata basyar dan kata bani adam atau dzurriyat adam: Uraian ini secara khusus akan mengarahkan pandangan pada kata basyar dan kata insan. (QS al-Kahf, 18:110 ).
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Dari sisi lain dapat diamati, banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap(Al-Insyaqaaq, 84:19 dan Al-Mumin 40:67) sehingga mencapai tahap kedewasaan dalam kehidupannya, dan menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat).
Dan karena itu pula, tugas khilafah dibebankan kepada basyar (QS.Al Baqarah 2:30), dan QS. An-Nur24:55,) yang rnenggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Tuhan kepada malaikat tentang manusia dan meneguhkan bagi manusia agama yang diridhai-NYA. Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Kata insan digunakan al-Qur' an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga, psikis dan fisik (QS Al-Sajdah 32:9)
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
            Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan , jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur'an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan.[6] Menurut al-Qur'an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf sifat hakiki manusia adalah mahluk beragama (homo religius), yaitu mahluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama itu (QS al Araf: 172)
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
bagi rujukan sikap dan prilakunya. Dalam al-qur’an manusia diciptakan sebaik-baiknya (QS At Tin 95-4) dan dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur itu merupakan senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi), antara jiwa dan raga (QS: as:Sajdah, 32: 7-9). Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan.
AI-Qur'an menuturkan: Kemudian Tuhannya memilihnya, menenma tobatnya, dan membimbingnya (QS. Thaha, 20: 122). Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkati dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diberi amanah dan dibekali kemampuan oleh Allah namun mereka dzalim terhadap dirinya sendiri (QS. Al-Ahzab, 33: 72dan Al-Insan, 76: 2-3).[7]
Manusia berulangkali diangkat derajatnya karenaaktualisasi jiwanya secara positif , sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat (QS Al Israa 17:70), tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makh1uk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi "yang paling rendah dari segala yang rendah", juga karena mengembangkan sisi negative, jiwanya menyimpang dari jati diri (fitrah) mereka sendiri. Beberapa sifat dan potensi manusia banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an ada yang dengan terang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya hingga dimuliakan dibanding dengan kebanyakan mahluk-makhluk yang lain (QS. Al-Isra 17: 70). Tetapi, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat lalim (aniaya) mengingkari nikmat (QS. Ibrahim, 14: 34). Hal ini bukan berarti ayat-ayat Al-Qur'an bertentangan antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi Al-Qur' an menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi positif yang harus selalu dijaga dan dikembangkan , sedangkan sisi lainnya berpotensi negative yang ditunjukkan dengan beberapa kelemahan manusia yang sebaiknya harus dihindari. karena bila tidak dikendalikan akan muncul dan tumbuh sisi negatif pada dirinya.
a.         Sisi Positif manusia
Beberapa sisi positif manusia yang disebut dalam Al-Qur'an diantaranya :
1)         Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi (lihat, misalnya QS.Al-Baqarah, 2:
30, QS. al-An'am, 6: 165).
2)         Dibandingkan dengan semua makhluk yang lain, Manusia mempunyai
kapasitas intelegensi yang paling tinggi (QS. al-Baqarah, 2: 31-33). Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh didasar sanubari mereka. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika terlalu memperhatikan diri dan masalah keduniawian
3)         Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik
dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka (QS. Asy- Syam, 91: 78).
4)         Jiwa manusia tidak akan pemah damai, kecuali dengan mengingat Allah.[8]
Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi (QS. Ar-Ra'd, 13: 28) Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepada-Nya, dan merupakan tangungjawab yang utama bagi mereka. Disebutkan dalarn Al-Qur'an: Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 56 ).
b.         Sisi Negatif Manusia
Al-Qur' an juga menyebutkan segi-segi negatifnya .Manusia banyak dicela,
mereka dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. AI-Qur'an menggambarkan
mereka sebagai berikut :
1)         Manusia dikatakan Al-Qur' an sebagai makhluk yang amat zhalim dan amat
bodoh (QS. Al-Ahzab, 33: 72).
2)         Manusia dinilai sebagai makhluk yang sombong dan congkak (baca; QS.An-
Nisaa, 4: 36).
3)         Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat (QS.AI-Hajj, 22: 66). Lalu mengapa Al-Qur' an menghargai mereka setinggi langit dan pada saat yang sama mencerca mereka ke tingkat yang paling rendah? Membuat manusia jadi bingung akan identitas dirinya, mreka sangat membutuhkan model serta pedoman yang kuat dalam menjalani hidup ini agar jelas dan lurus terarah menuju ridha-NYA, seperti tercantum dalam Surat al-fatihah ayat 4-7.[9]
Pada kenyataannya manusia memang cenderung bersifat ganda, setengah dipuji dan setengah dikecam Tetapi, mereka tidaklah dipuji atau dikecam karena sifat ganda yang mereka miliki. Kejahatan dan ketakwaan manusia memang disebabkan karena kejahatan dan ketakwaan jiwanya sendiri. Allah swt, dalam hal ini menegaskan dalam QS:Asy-Syamsi 91: 7-8. Namun, yang dipuji oleh Tuhan bukanlah jiwa yang berkecenderungan ganda, `jahat' dan 'takwa. Yang 'dite'gaskan' oleh Allah ialah: `Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya` (QS. asy-Syams, 91: 9). Sebaliknya, disebutkan pula : "Sungguh merugilah orang yang mengotorinya" (QS. Asy-Syams, 91: 10). Nafs (Jiwa) yang ada dalam diri manusia memang berpotensi positif dan juga negatif. Namun, diperoleh isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian jiwa dan tidak mengotorinya. Kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dapat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya: Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya pula (QS. al-Baqarah, 2: 286).
Hal tersebut menurut pakar tafsir al-Qur'an, Muhammad Abduh, mengisyaratkan bahwa nafs manusia pada hakekatnya mudah tertarik untuk melakukan hal-hal yang baik (kebajikan) daripada melakukan kejahatan dan pada gilirannya hal ini mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Tuhan untuk cenderung melakukan kebajikan. AI-Qur'an Juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, yang secara eksplisit disebutkan tentang al-nafs al-lawwamah, ammarah dan muthmainnah.Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah.[10]
Firman Allah dalam surat al-Ra'd, 13: 11, yang mengandung kata anfusihim (bentuk plural kata nafs) mengisyaratkan bahwa nafs menampung, paling tidak, pikiran,gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa-apa yang terdapat dalam wadah nafs-nya. Jadi yang utama, adalah gagasan dan kemauan untuk berubah. Begitu pula gagasan/pengaruh yang benar disertai dengan kemauan yang kuat dari satu kelompok masyarakat dapat mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi, gagasan saja tanpa dibarengi kemauan, atau kemauan saja tanpa gagasan yang benar tidak akan menghasilkan suatu perubahan. Perubahan juga tidak akan terjadi apabila kemauan dan gagasan terhambat oleh masalah yang dihadapi manusi, untuk itu biasanya manusia smelakukan konsultasi bimbingan dan konseling.




Gambar: UIN RIL

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata "religius" berasal dari kata "religi" yang berarti khidmat dalam pemujaan, sikap dalam hubungan dengan hal yang suci dan supra natural yang dengan sendirinya menuntut hormat dan khidmad (Shadaly, 1984: 278). Pengertian yang lebih singkat dikemukakan oleh Dojosantoso (1986: 3) bahwa religius adalah keterikatan manusia pada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan.
Sedangkan istilah agama atau religion dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesucian, kesalahan, ketelitihan batin, religare yang berarti mengikatkan kembali, pengikatan bersama (Djamari, 1988: 8).
Adapun nilai religius menurut Suwondo (1994: 65) adalah:
1.         Keimantauhidan manusia terhadap Tuhan.
2.         Keteringatan manusia terhadap sifat Tuhan.
3.         Ketaatan manusia terhadap firman Tuhan.
4.         Kepasrahan manusia terhadap kekuasaan Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Yunitasari, Dukhan; Mengupas Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan; 2018; vol. 13. Hal 27
Azmi, Shofiyatul. Pendidikan Kewarganegaraan Merupakan Salah Satu Pengejawantahan Dimensi Manusia Sebagai Makhluk Individu, Sosial, Susila, Dan Religious. Vol 18. Hal 77-78






[1]  Azmi, Shofiyatul. Pendidikan Kewarganegaraan Merupakan Salah Satu Pengejawantahan Dimensi Manusia Sebagai Makhluk Individu, Sosial, Susila, Dan Religious. Vol 18. Hal 77-78

[2] Ibid hal 80

[3] Ibid hal 82
[4] Yunitasari, Dukhan; Mengupas Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan; 2018; vol. 13; hal 27

[5] Ibid hal 28
[6] Ibid hal 29
[7] Ibid 83
[8] Ibid 30
[9] Ibid 31
[10] Ibid 32

No comments:

Post a Comment

  Nilai, Norma dan Etika dalam Komunikasi Antar Pribadi KATA PENGANTAR          Puji syukur kehadirat Allah SWT yang saat ini ma...