TAFSIR AYAT-AYAT YANG BERKENAAN DENGAN
HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS
Dosen Pengampu :
Ilzami Mahmudah, S.Pd., M.Ag.
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir
Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
(BKI E)
Nurul Meisita (1841040317)
Radhita Indah Saputri (1841040328)
Rona Nur Fadhilah (1841040338)
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TA. 2019/ 1441 H
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji
bagi Allah SWT. Yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhir nanti.
Kami telah
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya
dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak khususnya kepada dosen Tafsir kami Ibu Ilzami Mahmudah, S.Pd.,
M.Ag. yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terimakasih.
Bandar Lampung, Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................ii
DAFTAR
ISI.....................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah......................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 2
C. Tujuan
Penulisan................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Manusia Sebagai Makhluk
Religius.......................................... 3
B.
Konsep
Manusia Sebagai Makhluk Religius...............................6
BAB III KESIMPULAN
a. Kesimpulan........................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling
sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia
bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan
baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan
kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam
Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai
adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi.
Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur
Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang
sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang
diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Oleh karena fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan beribadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk beribadah kepada Tuhan pun diperlukan suatu
ilmu. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan pendidikan, manusia
dapat mengenal siapa Tuhannya. Dengan pendidikan pula manusia dapat mengerti
bagaimana cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui
sebuah pendidikan yang tepat, manusia akan menjadi makhluk yang dapat mengerti
bagaimana seharusnya yang dilakukan sebagai seorang makhluk Tuhan. Manusia
dapat mengembangkan pola pikirnya untuk dapat mempelajari tanda-tanda kebesaran
Tuhan baik yang tersirat ataupun dengan jelas tersurat dalam lingkungan
sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Saja Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Religious?
2.
Apa
Konsep Manusia Sebagai Makhluk Religius?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Religious
2.
Untuk
Mengetahui Konsep Manusia Sebagai Mahkluk Religius
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MANUSIA
SEBAGAI MAKHLUK RELIGIUS
Kata "religius" berasal
dari kata "religi" yang berarti khidmat dalam pemujaan, sikap dalam
hubungan dengan hal yang suci dan supra natural yang dengan sendirinya menuntut
hormat dan khidmad (Shadaly, 1984: 278). Pengertian yang lebih singkat
dikemukakan oleh Dojosantoso (1986: 3) bahwa religius adalah keterikatan
manusia pada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. keterikatan
manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan sikap manusia
"religius" manusia religius dapat diartikan sebagai manusia yang
berhati nurani serius, shaleh, teliti dalam pertimbangan batin (Mangunwijaya,
1982: 194).
Sedangkan istilah agama atau
religion dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin religio yang berarti
agama, kesucian, kesalahan, ketelitihan batin, religare yang berarti
mengikatkan kembali, pengikatan bersama (Djamari, 1988: 8). Manusia diciptakan
Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurna-annya itu manusia bisa
berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di
sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan.
Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.[1] Oleh sebab itu, sudah
menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang
mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi. Dalam kehidupannya, manusia
tidak bisa meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu
yang sempurna. Dan sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan.[2]
Hal itu merupakan fitrah manusia
yang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya. Menurut Noor
Syam (2006: 97) wawasan religius mengandung makna bahwa sesungguhnya manusia
mengerti sesuatu makna dan nilainya hanya berkat petunjuk ilahi atau dikataakan
hidayah dari sang Maha Pencipta. Kesadaraan ini mengandung makna mendasar
sebagai keyakinan untuk melakukan perintah Ilahi dan menjauhi laranganNya.
Adapun nilai religius menurut Suwondo (1994: 65) adalah:
1. Keimantauhidan
manusia terhadap Tuhan.
2. Keteringatan
manusia terhadap sifat Tuhan.
3. Ketaatan manusia
terhadap firman Tuhan.
4. Kepasrahan manusia
terhadap kekuasaan Tuhan.
Berbicara tentang agama terhadap kehidupan manusia memang cukup
menarik, khususnya agama islam. Hal ini tidak terlepas dari tugas para nabi
yang membimbing dan mengarahkan manusia kearah kebaikan yang hakiki dan juga
para nabi sebagai figur konselor yang sangat mumpuni dalam memecahkan
permasalahan (problem solving) yang berkaitan dengan jiwa manusia, agar manusia
keluar dari tipu daya syaiton. Seperti tertuang dalam ayat berikut:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
(QS Al-Ashr ayat 1-3)
Emile Durkheim (1912) memaparkan dasar-dasar religi dengan empat
dasar komponen, yaitu :
1.
emosi keagamaan, sebagai suatu substansi yang
menyebabkan manusia menjadi religius;
2.
sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang
sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari
alam gaib (supernatural);
3.
Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
Dewa-dewa atau Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4.
kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan
tersebut.[3]
Keempat komponen tersebut terjalin erat satu dengan yang lainnya
menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat dalam diri manusia,
sehingga manusia menjadi makhluk religi yang menyandarkan kehidupannya kepada
Tuhan.
Manusia merupakan
makhluk yang paling sempurna pencitraannya yang berarti manusia mempunyai akal
pikiran, perasaan dan emosi dan dapat mengaktualisasikan dirinya karena apa
yang ia punya merupakan bekal dapat hidup di dunia dan akhirat dengan baik.[4]
B.
Konsep
Manusia Sebagai Makhluk Religius
Sejak dulu manusia telah mencurahkan
segenap perhatian dan usahanya untuk mengetahui dirinya dan telah banyak pula
penelitian ilmuwan, filosof, sastrawan dan para ahli di bidang psikologi dan
kerohanian untuk memahami konsep dirinya namun ternyata manusia hanya mampu
mengetahui beberapa segi tertentu saja dari dirinya, manusia benar-benar tidak
mengetahui eksistensi dirinya secara seutuhnya. Pada hakekatnya menurut Carrel
(4:4), keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu sekurang-kurangnya
disebabkan oleh tiga hal:
1) Pembahasan
tentang manusia agaknya terlambat dilakukan karena awalnya perhatian manusia
hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
2) Ciri akal manusia
yang lebih cenderung tidak suka memikirkan hal-hal yang kompleks. Kalau menurut
Bergson hal ini disebabkan oleh sifat akal kita, yang tidak mampu mengetahui
hakekat hidup.
3) Sifat masalah
manusia itu sendiri yang multikompleks.[5]
Terkait dengan penjelasan di atas,
kaum agamawan menjelaskan bahwa hal itu disebabkan karena manusia merupakan
satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi,
sedangkan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh itu/urusan Allah,
kecuali sedikit (QS. al-Isra, 17: 85)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ
رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Jadi jelas yang terbaik untuk mengenal siapa
manusia adalah dengan merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan
jawabannya. Al-Qur’an adalah satu-satunya wahyu Ilahi yang paling dapat diandalkan
dalam masalah ini.. Ada tiga kata yang digunakan al-Qur' an untuk menunjuk arti
manusia, yaitu: insan atau ins dan al-nas atau unas; kata basyar dan kata bani
adam atau dzurriyat adam: Uraian ini secara khusus akan mengarahkan pandangan
pada kata basyar dan kata insan. (QS al-Kahf, 18:110 ).
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Dari sisi lain dapat diamati, banyak
ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa
proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap(Al-Insyaqaaq, 84:19
dan Al-Mumin 40:67) sehingga mencapai tahap kedewasaan dalam kehidupannya, dan
menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat).
Dan karena itu pula, tugas khilafah
dibebankan kepada basyar (QS.Al Baqarah 2:30), dan QS. An-Nur24:55,) yang
rnenggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Tuhan kepada
malaikat tentang manusia dan meneguhkan bagi manusia agama yang diridhai-NYA.
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis
dan tampak. Kata insan digunakan al-Qur' an untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga, psikis dan fisik (QS Al-Sajdah
32:9)
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ
رُوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا
مَا تَشْكُرُونَ
Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya,
adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan , jelas sekali
kita dapat melihat bahwa al-Qur'an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu
sumber khas pengetahuan.[6] Menurut al-Qur'an seluruh
alam raya ini merupakan manifestasi Allah.
Sedangkan menurut Syamsu Yusuf sifat
hakiki manusia adalah mahluk beragama (homo religius), yaitu mahluk yang
mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang
bersumber dari agama itu (QS al Araf: 172)
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ
مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
bagi rujukan sikap dan prilakunya. Dalam al-qur’an manusia
diciptakan sebaik-baiknya (QS At Tin 95-4) dan dalam fitrahnya memiliki
sekumpulan unsur surgawi nan luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang
ada pada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur itu merupakan
senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi),
antara jiwa dan raga (QS: as:Sajdah, 32: 7-9). Penciptaan manusia benar-benar
telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. karenanya, manusia
merupakan makhluk pilihan.
AI-Qur'an menuturkan: Kemudian
Tuhannya memilihnya, menenma tobatnya, dan membimbingnya (QS. Thaha, 20: 122).
Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan,
diberkati dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa
tanggung jawab. Mereka diberi amanah dan dibekali kemampuan oleh Allah namun
mereka dzalim terhadap dirinya sendiri (QS. Al-Ahzab, 33: 72dan Al-Insan, 76:
2-3).[7]
Manusia berulangkali diangkat
derajatnya karenaaktualisasi jiwanya secara positif , sebaliknya berulangkali
pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka
dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat (QS Al
Israa 17:70), tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti
dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makh1uk yang mampu
menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi "yang paling
rendah dari segala yang rendah", juga karena mengembangkan sisi negative,
jiwanya menyimpang dari jati diri (fitrah) mereka sendiri. Beberapa sifat dan
potensi manusia banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an ada yang dengan
terang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya hingga
dimuliakan dibanding dengan kebanyakan mahluk-makhluk yang lain (QS. Al-Isra
17: 70). Tetapi, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat lalim
(aniaya) mengingkari nikmat (QS. Ibrahim, 14: 34). Hal ini bukan berarti
ayat-ayat Al-Qur'an bertentangan antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi
Al-Qur' an menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi positif yang harus
selalu dijaga dan dikembangkan , sedangkan sisi lainnya berpotensi negative
yang ditunjukkan dengan beberapa kelemahan manusia yang sebaiknya harus
dihindari. karena bila tidak dikendalikan akan muncul dan tumbuh sisi negatif
pada dirinya.
a. Sisi Positif
manusia
Beberapa sisi positif manusia yang disebut dalam Al-Qur'an
diantaranya :
1) Manusia adalah
khalifah Tuhan di bumi (lihat, misalnya QS.Al-Baqarah, 2:
30, QS. al-An'am, 6: 165).
2) Dibandingkan dengan
semua makhluk yang lain, Manusia mempunyai
kapasitas intelegensi yang paling tinggi (QS. al-Baqarah, 2:
31-33). Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain,
manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh didasar sanubari mereka. Segala
keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika terlalu memperhatikan
diri dan masalah keduniawian
3) Manusia memiliki
kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik
dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka (QS.
Asy- Syam, 91: 78).
4) Jiwa manusia tidak
akan pemah damai, kecuali dengan mengingat Allah.[8]
Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan
apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk
ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi (QS. Ar-Ra'd, 13:
28) Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepada-Nya,
dan merupakan tangungjawab yang utama bagi mereka. Disebutkan dalarn Al-Qur'an:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.
Adz-Dzaariyaat, 51: 56 ).
b. Sisi Negatif
Manusia
Al-Qur' an juga menyebutkan segi-segi negatifnya .Manusia banyak
dicela,
mereka dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. AI-Qur'an
menggambarkan
mereka sebagai berikut :
1) Manusia dikatakan
Al-Qur' an sebagai makhluk yang amat zhalim dan amat
bodoh (QS. Al-Ahzab, 33: 72).
2) Manusia dinilai
sebagai makhluk yang sombong dan congkak (baca; QS.An-
Nisaa, 4: 36).
3) Manusia benar-benar
sangat mengingkari nikmat (QS.AI-Hajj, 22: 66). Lalu mengapa Al-Qur' an
menghargai mereka setinggi langit dan pada saat yang sama mencerca mereka ke
tingkat yang paling rendah? Membuat manusia jadi bingung akan identitas
dirinya, mreka sangat membutuhkan model serta pedoman yang kuat dalam menjalani
hidup ini agar jelas dan lurus terarah menuju ridha-NYA, seperti tercantum
dalam Surat al-fatihah ayat 4-7.[9]
Pada kenyataannya manusia memang
cenderung bersifat ganda, setengah dipuji dan setengah dikecam Tetapi, mereka
tidaklah dipuji atau dikecam karena sifat ganda yang mereka miliki. Kejahatan
dan ketakwaan manusia memang disebabkan karena kejahatan dan ketakwaan jiwanya
sendiri. Allah swt, dalam hal ini menegaskan dalam QS:Asy-Syamsi 91: 7-8.
Namun, yang dipuji oleh Tuhan bukanlah jiwa yang berkecenderungan ganda,
`jahat' dan 'takwa. Yang 'dite'gaskan' oleh Allah ialah: `Sungguh beruntunglah
orang yang mensucikan jiwanya` (QS. asy-Syams, 91: 9). Sebaliknya, disebutkan
pula : "Sungguh merugilah orang yang mengotorinya" (QS. Asy-Syams,
91: 10). Nafs (Jiwa) yang ada dalam diri manusia memang berpotensi positif dan
juga negatif. Namun, diperoleh isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara
kesucian jiwa dan tidak mengotorinya. Kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih
kuat dapat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya: Allah
tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs
memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa
yang diusahakannya pula (QS. al-Baqarah, 2: 286).
Hal tersebut menurut pakar tafsir
al-Qur'an, Muhammad Abduh, mengisyaratkan bahwa nafs manusia pada hakekatnya
mudah tertarik untuk melakukan hal-hal yang baik (kebajikan) daripada melakukan
kejahatan dan pada gilirannya hal ini mengisyaratkan bahwa manusia pada
dasarnya diciptakan Tuhan untuk cenderung melakukan kebajikan. AI-Qur'an Juga
mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, yang secara
eksplisit disebutkan tentang al-nafs al-lawwamah, ammarah dan muthmainnah.Di
sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah.[10]
Firman Allah dalam surat al-Ra'd,
13: 11, yang mengandung kata anfusihim (bentuk plural kata nafs) mengisyaratkan
bahwa nafs menampung, paling tidak, pikiran,gagasan dan kemauan. Suatu kaum
tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu
apa-apa yang terdapat dalam wadah nafs-nya. Jadi yang utama, adalah gagasan dan
kemauan untuk berubah. Begitu pula gagasan/pengaruh yang benar disertai dengan
kemauan yang kuat dari satu kelompok masyarakat dapat mengubah keadaan
masyarakat itu. Tetapi, gagasan saja tanpa dibarengi kemauan, atau kemauan saja
tanpa gagasan yang benar tidak akan menghasilkan suatu perubahan. Perubahan
juga tidak akan terjadi apabila kemauan dan gagasan terhambat oleh masalah yang
dihadapi manusi, untuk itu biasanya manusia smelakukan konsultasi bimbingan dan
konseling.
Gambar: UIN RIL
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata "religius" berasal dari kata "religi" yang
berarti khidmat dalam pemujaan, sikap dalam hubungan dengan hal yang suci dan
supra natural yang dengan sendirinya menuntut hormat dan khidmad (Shadaly,
1984: 278). Pengertian yang lebih singkat dikemukakan oleh Dojosantoso (1986:
3) bahwa religius adalah keterikatan manusia pada Tuhan sebagai sumber
ketentraman dan kebahagiaan.
Sedangkan istilah agama atau religion dalam bahasa Inggris berasal
dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesucian, kesalahan, ketelitihan
batin, religare yang berarti mengikatkan kembali, pengikatan bersama (Djamari,
1988: 8).
Adapun nilai religius menurut Suwondo (1994: 65) adalah:
1. Keimantauhidan
manusia terhadap Tuhan.
2. Keteringatan manusia
terhadap sifat Tuhan.
3. Ketaatan manusia
terhadap firman Tuhan.
4. Kepasrahan manusia
terhadap kekuasaan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Yunitasari, Dukhan; Mengupas Hakikat
Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan; 2018; vol. 13. Hal 27
Azmi, Shofiyatul. Pendidikan
Kewarganegaraan Merupakan Salah Satu Pengejawantahan Dimensi Manusia Sebagai
Makhluk Individu, Sosial, Susila, Dan Religious. Vol 18. Hal 77-78
[1] Azmi, Shofiyatul. Pendidikan Kewarganegaraan
Merupakan Salah Satu Pengejawantahan Dimensi Manusia Sebagai Makhluk Individu,
Sosial, Susila, Dan Religious. Vol 18. Hal 77-78
[3] Ibid hal 82
No comments:
Post a Comment